JAKARTA, Lingkar.news – Pakar hukum dari Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Dr. Oce Madril berpendapat, sistem proporsional terbuka dalam pelaksanaan Pemilu dapat memicu adanya politik uang (money politic).
“Dalam sistem proporsional terbuka, para caleg orientasinya adalah meraih suara sebanyak-banyaknya, maka berbagai intrik dilakukan termasuk melakukan praktik politik uang. Maka banyak riset menyatakan bahwa, politik uang di Indonesia sangatlah tinggi,” tutur Oce Madril dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, pada Rabu, 4 Januari 2023.
Menurutnya, dalam konstitusi sebenarnya tidak mengatur tentang sistem pemilu apa yang akan diterapkan, baik proporsional terbuka atau pun tertutup.
Kawal Demokrasi Lebih Maju, 8 Fraksi DPR Nyatakan Sikap Dukung Pemilu Proporsional Terbuka
Namun, sistem proporsional tertutup dengan mencoblos partai lebih simpel dan murah.
“Konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem Pemilu apa yang harus diterapkan. Jadi pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup merupakan kebijakan hukum terbuka. Kedua sistem itu pun pernah diterapkan di Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif PUSHAN itu.
Kendati demikian, dirinya mengingatkan ada implikasi dari setiap pilihan sistem pemilu tersebut. Misalnya, sistem proporsional terbuka dengan mencoblos caleg menitikberatkan pada individu, sehingga setiap caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak.
Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi (high cost politics). Banyak riset telah dilakukan yang menyimpulkan rata-rata pengeluaran caleg DPR mencapai angka Rp 4 miliar dan bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp 20 miliar.
“Di tingkat DPRD biayanya juga gila-gilaan hanya untuk berebut satu kursi,” ucapnya.
Oce Madril mengatakan, biaya tinggi yang harus dikeluarkan caleg tersebut untuk membiayai berbagai kebutuhan kampanye agar dapat meraih suara sebanyak-banyaknya.
Para caleg akan bertarung dengan caleg dari partai lain dan bahkan akan gontok-gontokan dengan caleg dalam satu partai. Selain berbiaya tinggi, juga memicu konflik.
Menurutnya, pemilu yang berbiaya mahal berkorelasi dengan tingginya tingkat korupsi di sebuah negara.
“Rumusnya sederhana, karena modal yang harus dikeluarkan caleg sangat mahal, maka ketika terpilih rentan melakukan korupsi untuk mengembalikan modal biaya pemilu dan menyiapkan modal baru agar dapat terpilih di pemilu berikutnya,” paparnya.
Persoalan turunan yang ditimbulkan oleh sistem pemilu berbiaya mahal ini telah dirasakan selama ini dan hingga saat ini, persoalannya semakin akut, korupsi politik, dan politik uang semakin merongrong institusi demokrasi.
“Sementara sistem proporsional tertutup menyisakan masalah demokratisasi di tingkat partai, khususnya berkaitan dengan rekrutmen politik,” ujarnya.
Oleh karena itu, tambah dia, apabila nanti Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa, sistem proporsional tertutup (mencoblos partai) kembali diterapkan, maka partai-partai harus memberikan jaminan bahwa rekrutmen caleg dilakukan berdasarkan merit system dengan mengajukan kader-kader berkualitas, tidak hanya berdasarkan popularitas semata.
Sebelumnya, Ketua KPU RI Hasyim Asyari menyebutkan, ada kemungkinan pemungutan suara Pemilu 2024 dengan sistem proporsional tertutup atau memilih partai, bukan caleg.
“Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” kata Hasyim dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 di Kantor KPU RI, Jakarta, pada Kamis, 29 Desember 2022. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)