Lingkar.news – Berbeda dengan Penyidik di ranah kepolisian, PPNS atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil, adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Berikut sejumlah analisis mengenai PPNS maupun Penyidik Polri, menurut Eks. Dewan Riset Daerah Kabupaten Pati, Bapak Karsiman Rosyid, BA., SAg., ME.
Daftar Isi :
1. Kedudukan PPNS dan Penyidik Polri: Ketimpangan Kewenangan
PPNS diberikan kewenangan penyidikan berdasarkan undang-undang sektoral yang menjadi dasar hukumnya. Namun, dalam praktiknya, PPNS tidak memiliki kemandirian penuh karena berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri.
Dari perspektif hierarki penegakan hukum, posisi PPNS ini menunjukkan ketimpangan kewenangan, di mana:
– Penyidik Polri memiliki otoritas utama dalam semua tindak pidana, sedangkan PPNS hanya berwenang dalam ruang lingkup tertentu.
– PPNS wajib berkoordinasi dengan Penyidik Polri dalam setiap tahapan penyidikan, yang menimbulkan potensi kendala administratif dan birokrasi.
Implikasi dari ketimpangan ini dapat berdampak pada efektivitas penegakan hukum sektor tertentu, terutama jika terjadi hambatan koordinasi antara PPNS dan Penyidik Polri. Dalam kasus tertentu, bisa muncul konflik kepentingan atau perbedaan interpretasi antara penyidik sektoral dan kepolisian.
2. Ketergantungan PPNS terhadap Penyidik Polri dalam Upaya Paksa
Salah satu aspek yang menegaskan subordinasi PPNS terhadap Penyidik Polri adalah keterbatasan dalam penggunaan upaya paksa, seperti:
– PPNS tidak dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa keterlibatan Penyidik Polri.
– Hanya penyidik tertentu seperti Kejaksaan, KPK, dan TNI AL yang dikecualikan dari kewajiban koordinasi ini.
Implikasi dari ketentuan ini antara lain:
– Proses penyidikan dapat menjadi lebih lambat karena PPNS harus menunggu persetujuan dari Polri sebelum melakukan tindakan hukum tertentu.
– Dalam kasus di mana penyidikan memerlukan tindakan cepat, ketergantungan pada Polri dapat melemahkan efektivitas PPNS dalam menjalankan tugasnya.
– Dari sudut pandang checks and balances, sistem ini dapat dipandang sebagai cara untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh PPNS. Namun, di sisi lain, Polri memiliki kontrol penuh terhadap tindakan PPNS, yang bisa menjadi hambatan dalam kasus-kasus di mana Polri memiliki kepentingan tertentu.
3. Proses Administrasi yang Berbelit: Hambatan dalam Penyidikan
Dalam proses penyidikan, PPNS tidak dapat menyerahkan berkas perkara langsung ke Penuntut Umum, tetapi harus melalui Penyidik Polri.
Dampak administratif dari ketentuan ini adalah:
– Proses birokrasi bertambah panjang karena melibatkan dua lembaga sebelum perkara masuk ke tahap penuntutan.
– Kemungkinan terjadinya tarik ulur antara PPNS dan Penyidik Polri dalam menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan atau tidak.
– Dalam kasus tertentu, PPNS bisa kehilangan independensinya jika harus mengikuti arahan dari Polri, yang bisa berujung pada intervensi atau konflik kepentingan.
Sebagai alternatif solusi, perlu ada kebijakan yang memungkinkan PPNS untuk langsung menyerahkan berkas perkara ke Penuntut Umum, seperti halnya Penyidik Polri. Selain itu, mekanisme koordinasi antara PPNS dan Polri harus diperjelas agar tidak menjadi hambatan administratif, tetapi tetap dalam koridor checks and balances.
4. Potensi Benturan Kepentingan dan Dominasi Polri
Karena semua PPNS berada di bawah pengawasan Polri, ada potensi dominasi dari Polri terhadap penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. Hal ini dapat berdampak pada:
– Potensi intervensi dalam kasus yang sensitif, terutama jika Polri memiliki kepentingan dalam suatu perkara.
– Ketidakjelasan batas kewenangan, di mana Polri dapat menggunakan otoritasnya untuk menentukan arah penyidikan, meskipun kasus tersebut seharusnya menjadi ranah PPNS.
– Dalam beberapa kasus, PPNS bisa menjadi sekadar pelengkap, sementara keputusan utama tetap berada di tangan Polri.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Hubungan antara PPNS dan Penyidik Polri dalam RUU KUHAP menunjukkan adanya ketergantungan struktural, yang berpotensi menghambat efektivitas penyidikan oleh PPNS. Sementara koordinasi dan pengawasan bertujuan untuk menjaga akuntabilitas, sistem ini juga menciptakan hierarki yang tidak seimbang.
Untuk meningkatkan efektivitas penyidikan, beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan adalah:
1. Memperjelas batas kewenangan antara PPNS dan Penyidik Polri agar tidak terjadi tumpang-tindih atau intervensi yang tidak perlu.
2. Memberikan kewenangan lebih besar kepada PPNS dalam upaya paksa tertentu, setidaknya dalam kasus-kasus yang jelas merupakan domain mereka.
3. Memperpendek jalur administrasi dengan memberikan PPNS wewenang untuk menyerahkan berkas perkara langsung ke Penuntut Umum, tanpa harus melalui Polri.
4. Mekanisme pengawasan yang lebih transparan agar koordinasi PPNS dengan Polri tidak menjadi hambatan, melainkan bentuk kerja sama yang efektif.
Dengan perubahan-perubahan tersebut, sistem penyidikan dapat lebih efisien, tanpa mengorbankan akuntabilitas dan prinsip checks and balances dalam penegakan hukum di Indonesia. (Nailin RA)