SORONG, Lingkar.news – Kerusakan ekosistem alam di Kabupaten Raja Ampat yang disinyalir akibat aktivitas perusahaan tambang nikel menjadi sorotan.
Wakil Ketua II DPR Papua Barat Daya Fredrik Marlisa mengatakan kerusakan alam Raja Ampat harus diinvestigasi untuk melihat dan memastikan kondisi ekosistem alam itu tidak tercemar aktivitas tambang.
“Karena kita tidak bisa hanya mendengar, kita harus turun dan melihat langsung kondisinya seperti apa, kemudian baru diikuti dengan upaya konkret lain,” jelasnya di Sorong, Selasa, 20 Mei 2025.
Marlisa mengatakan, pihaknya sangat menolak kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang kemudian berdampak secara signifikan terhadap ekosistem alam Raja Ampat.
“Dalam waktu dekat kita akan lakukan kunjungan ke Raja Ampat dan mulai dengan investigasi di sana,” ujarnya.
Menurut Marlisa, setiap perusahaan yang melakukan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi di Raja Ampat sudah harus memenuhi aturan yang menjadi bagian penting untuk mendukung penambangan itu.
“Karena kita baru dilantik sehingga tugas pengawasan baru bisa berjalan mulai saat ini. Kami sudah agendakan setelah balik dari Jakarta langsung mulai dengan kunjungan kerja ke setiap daerah termasuk Raja Ampat,” ucapnya.
Pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat terkait persoalan kerusakan lingkungan. Sebab, Kabupaten Raja Ampat merupakan bagian dari wilayah administrasi Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya.
“Pemerintah Raja Ampat pun harus serius untuk menyikapi persoalan ini. Kita bersama mendorong penanganan persoalan ini, jangan dibiarkan karena dampaknya berimbas kepada masyarakat,” harapnya.
Sementara itu Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya (Pemprov PBD) segera menindaklanjuti informasi tentang aktivitas tambang yang diduga telah merusak dan mencemari lingkungan alam di Kabupaten Raja Ampat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan BPD, Julian Kelly Kambu, mengatakan tidak ada laporan resmi terkait dengan kerusakan lingkungan oleh aktivitas tambang di Raja Ampat yang masuk ke pemerintah. Akan tetapi, pihaknya menindaklanjuti informasi itu untuk memastikan kebenarannya.
“Tambang nikel di Raja Ampat itu baru dua perusahaan yang sudah berizin, yakni PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining,” jelasnya, Senin, 19 Mei 2025.
perusahaan ini bergerak di tambang nikel yang telah mengantongi izin berusaha sejak daerah ini masih menjadi satu dengan Provinsi Papua Barat.
Julian Kelly mengungkapkan bahwa dua perusahaan itu sudah memenuhi persyaratan mulai dari kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin penggunaan kawasan. Bahkan, proses ini sejak di Papua Barat.
Ia mengakui bahwa Kabupaten Raja Ampat tengah ramai diperbincangkan terkait dengan adanya tambang nikel di wilayah itu.
Kondisi itu menjadi kekhawatiran bagi pihaknya jika tidak ada laporan resmi terkait aktivitas tambang tanpa izin, yang akan berdampak pada kerusakan ekosistem alam di areal itu.
Selain dua tambang nikel yang berizin, menurut dia, ada beberapa perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) sebelum Papua Barat Daya itu ada.
“Itu baru IUP, belum proses perizinan lain yang menjadi syarat bagi perusahaan tambang memilikinya,” ujarnya.
Informasi terkait dengan kerusakan lingkungan hidup, kehutanan, dan pertanahan itu, kata dia, berasal dari informasi yang disampaikan lewat media. Namun, laporan resmi dari masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat hingga saat ini belum ada.
“Artinya kami tetap tindak lanjut dengan pemerintahan terkait walaupun tidak ada laporan yang masuk,” ucapnya.
Jurnalis: Antara
Editor: Ulfa Puspa