JAKARTA, Lingkar.news – Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menampik bahwa nelayan protes pemasangan Vessel Monitoring System (VMS) atau Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP).
Menteri Trenggono dalam rapat kerja Komisi Komisi IV DPR RI bersama Menteri KP pada Selasa, 22 April 2025, nelayan justru menerima banyak bantuan untuk keperluan penangkapan ikan.
“Nelayan kecil enggak pernah protes soal VMS. Enggak pernah nelayan kecil itu protes VMS, enggak pernah, enggak ada, tapi kalau mereka diajak mungkin,” kata Trenggono dalam siaran di kanal YouTube TVR Parlemen yang dipantau pada Rabu, 23 April 2025.
Menurut Menteri Trenggono, nelayan kecil biasanya menggunakan kapal berukuran kecil, tidak mempekerjakan orang lain, dan menerima bantuan seperti alat tangkap, kapal gratis, dan bahan bakar bersubsidi dari pemerintah.
Oleh karena itu Trenggono menyebut tudingan bahwa nelayan kecil menolak VMS tidak berdasar, karena menurut dia, tidak ada nelayan tradisional yang menyampaikan penolakan secara langsung atau lewat survei.
“Nah, ini yang saya heran dan saya aneh, mereka bisa keberatan dan itu membahana sedemikian rupa mengatasnamakan nelayan kecil. Nelayan kecil enggak pernah protes soal VMS,” ujarnya.
Pihaknya menyebutkan bahwa VMS memiliki banyak fungsi seperti melacak posisi kapal saat terjadi kecelakaan laut, dan memantau aktivitas kapal agar tidak melanggar batas wilayah tangkap, kata dia.
Menteri KP heran dengan protes-protes terhadap VMS, yang menurutnya justru datang dari kelompok pengusaha besar yang menggunakan narasi seolah-olah mereka adalah bagian dari nelayan kecil.
Dia menyebut biaya pemasangan VMS hanya sekitar Rp5 juta, jumlah yang seharusnya sangat terjangkau bagi pemilik kapal besar atau pelaku usaha perikanan skala besar.
“Karena VMS ini banyak keuntungannya, dan VMS itu (diwajibkan pemasangannya pada) pengusaha. Jadi, kalau orang bisa bikin kapal, VMS cuma Rp5 juta, harusnya bisa (pasang VMS). Dan juga buat kepentingan si pemilik kapal,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Trenggono mengajak semua pihak untuk turun langsung ke lapangan, mendengar langsung aspirasi nelayan kecil yang selama ini justru mendukung program modernisasi alat tangkap.
“Nelayan ini sebetulnya, kalau yang namanya nelayan itu benar-benar nelayan daerah, nelayan tradisional. Mereka menggunakan kapal kecil, tidak mempekerjakan orang. Dan kalau disurvei, semuanya tidak ada yang protes,” ucapnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Pung Nugroho Saksono mengatakan bahwa pemasangan VMS atau SPKP tidak diwajibkan bagi nelayan kecil atau kapal di bawah 5 GT (gross tonnage).
“Kapal kecil ini dilihat dari GT kapal. Kalau menurut undang-undang itu berapa GT? Di bawah 5 GT itu dibilang nelayan kecil, maka kapal tersebut tidak wajib izin, tapi pencatatan namanya, daftar kapal perikanannya di Pemda,” kata Pung di Jakarta, Rabu, 16 April 2025.
Dia menerangkan hal itu dalam paparannya kepada awak media menanggapi pernyataan sejumlah nelayan di berbagai daerah yang menolak kebijakan pemasangan VMS pada kapal-kapal ikan dengan bobot di bawah 30 GT.
Pung menekankan hal itu karena masih beredar informasi yang menyebutkan bahwa seluruh kapal nelayan wajib memasang VMS tanpa pengecualian.
Nelayan kecil yang beroperasi di bawah 12 mil laut dan tidak melakukan migrasi izin ke pusat tidak diwajibkan mengikuti kebijakan pemasangan VMS oleh pemerintah pusat.
Kewajiban pemasangan VMS hanya berlaku bagi kapal yang telah berizin pusat, terutama kapal-kapal yang melakukan aktivitas di wilayah perairan melewati 12 mil laut dengan potensi hasil tangkap tinggi.
Penerapan VMS di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2024 tentang Perikanan, sebagaimana diubah dalam Undang-Undang 45 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)