JAKARTA, Lingkar.news – Mahkamah Agung (MA) menyatakan pasal 81 ayat (1) PP Nomor 46/2021 bertentangan dengan undang-undang. Hal tersebut termuat dalam putusan uji materi terkait permohonan nomor 40 P/HUM/2022. Perkara tersebut dimohonkan oleh PT Lombok Nuansa Televisi selaku Lembaga Penyiaran Swasta (LPS). Pihak termohon ialah Presiden Republik Indonesia.
Adapun pasal yang digugat tersebut, yakni pasal 81 ayat (1) berbunyi: LPP, LPS, dan/atau LPK menyediakan layanan program siaran dengan menyewa slot multipleksing kepada penyelenggara multipleksing.
Multipleksing (MUX) merupakan teknik untuk mengirimkan lebih dari satu informasi melalui satu saluran saja. MA menilai aturan soal menyewa slot kepada penyelenggara multipleksing bertentangan dengan Undang-Undang.
“Kabul permohonan HU, PT Lombok Nuansa Televisi sepanjang ketentuan Pasal 81 ayat (1) nomor 46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan penyiaran,” demikian bunyi salinan putusan yang dibagikan oleh juru bicara MA Andi Samsan Nganro pada Rabu, 3 Agustus 2022.
Putusan itu diketok oleh Ketua Majelis Supandi dengan anggota Is Sudaryono dan Yodi Martono Wahyunadi. Hakim menilai apa yang dimohonkan oleh pemohon beralasan.
Dalam permohonannya, Pemohon menyatakan pasal 81 tersebut bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (1) UU Penyiaran, sebagaimana diubah oleh Pasal 72 Angka 3 UU Cipta Kerja.
Karena dinilai mengakibatkan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) harus menyewa slot multipleksing kepada LPS yang ditetapkan sebagai penyelenggara multipleksing untuk menyediakan layanan program siaran.
Hal tersebut mengakibatkan ISR dan IPP yang sebelumnya telah dimiliki oleh Pemohon menjadi tidak berguna lagi. Sebab, Pemohon akhirnya harus menyewa Slot Multipleksing kepada LPS Multipleksing untuk menyediakan layanan program siaran.
Pasal tersebut menimbulkan kewajiban baru bagi pelaku usaha untuk menyelenggarakan/menyediakan layanan program siaran berupa kewajiban untuk menyewa Slot Multipleksing kepada LPS Multipleksing.
Dalam salah satu petitumnya, pemohon meminta agar pasal 81 ayat (1) nomor 46/2021 tidak berlaku, tidak mengikat, dan dinyatakan batal.
Hal tersebut kemudian disetujui oleh hakim. Majelis menilai ketentuan dalam pasal bertentangan dengan Pasal 60A UU penyiaran juncto Pasal 71 angka 8 UU Cipta Kerja.
Karena, UU Cipta Kerja hanya mengatur soal migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital dan analog witch off (ASO). Sementara PP Nomor 46/2021 selain mengatur perizinan berusaha dari pemerintah dan analog swich off, namun juga mengatur soal penyewaan slot multipleksing. Sehingga hakim menilai tak ada aturan penyewaan slot multipleksing dalam UU Cipta Kerja.
Dalam memutus hal tersebut, majelis hakim memiliki sejumlah pertimbangan. Pertama, hakim menilai semangat dari UU Cipta Kerja yakni menciptakan iklim usaha yang pasti, kondusif, dan adil bagi seluruh pelaku usaha, dalam hal ini ditujukan bagi pelaku usaha penyiaran televisi.
Namun, PP No. 46/2021 sebagai peraturan pelaksana dari UU Penyiaran juncto UU Cipta Kerja malah menciptakan ketidakpastian, kekacauan dan diskriminasi bagi pelaku usaha penyiaran televisi, karena mengatur hal-hal yang bertentangan dengan UU Penyiaran juncto UU Cipta Kerja yaitu soal penyewaan slot multipleksing.
Hal tersebut senada dengan Pasal 60A UU Penyiaran sebagaimana disisipkan oleh Pasal 72 angka 8 UU Cipta Kerja menyatakan:
(1) Penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital.
(2) Migrasi penyiaran televisi terrestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat 2 tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Hakim dalam putusannya menyatakan, migrasi penyiaran dari yang sebelumnya teknologi analog ke teknologi digital dan dampak dari analog switch off berlaku bagi seluruh pelaku industri penyiaran televisi. Sehingga seharusnya kesempatan menjadi LPS yang ditetapkan sebagai Penyelenggara Multipleksing terbuka bagi seluruh pelaku industri penyiaran televisi.
Namun pada faktanya, PP No. 46/2021 dinilai menciptakan diskriminasi bagi pelaku usaha penyiaran televisi berskala kecil lewat Pasal 81 ayat (1) PP No. 46/202.
Dari isi pasal tersebut, kata hakim, jelas dan terang bahwa LPS yang tidak ditetapkan sebagai Penyelenggara Multipleksing harus menyewa slot multipleksing kepada LPS Multipleksing.
Padahal, di Pasal 60A UU Penyiaran sebagaimana disisipkan oleh Pasal 72 angka 8 UU Cipta Kerja tidak ada norma yang mengatur bahwa LPS yang yang tidak ditetapkan sebagai Penyelenggara Multipleksing harus menyewa slot multipleksing kepada LPS Multipleksing untuk dapat menyediakan layanan program siaran.
“Dengan demikian, PP No. 46/2021 tidak memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri penyiaran televisi. PP No. 46/2021 juga tidak memberikan solusi atau jalan keluar kepada LPS penyewa slot multipleksing apabila LPS Multipleksing sewaktu-waktu diberhentikan sebagai Penyelenggara Multipleksing,” putus hakim. (Lingkar Network – Koran Lingkar)