SEMARANG, Lingkar.news – Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret, Dr. Andina Elok Puri Maharani, menanggapi isu DPR dapat mencopot Hakim Mahkamah Konstitusi dan pejabat tinggi lainnya.
Isu tersebut bergulir ketika DPR melakukan revisi tata tertibnya. Perubahan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, pada rapat paripurna Selasa 4 Februari 2025.
Perubahan tersebutu berimplikasi bahwa DPR dapat melakukan evaluasi berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.
Dalam konteks ini, semua pejabat negara yang ditetapkan oleh Rapat Paripurna bisa di evaluasi oleh DPR, termasuk Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi, Hakim Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung termasuk Panglima TNI dan Kapolri.
Andina menyatakan bahwa jika merujuk pada teori perundang-undangan, Peraturan DPR tidak memenuhi unsur “mengikat umum” karena sifat peraturan DPR adalah mengikat kedalam (internal).
“Namun dalam substansi dan praktiknya, DPR bersentuhan dengan subyek-subyek hukum di luar DPR, dapat dicermati dalam Pasal 365 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020. Pasal inilah yang bisa jadi menimbulkan multi penafsiran untuk mengartikan bahwa DPR merupakan lembaga superbody yang bisa mengevaluasi para pejabat negara yang ditetapkan sebelumnya di paripurna,” ujarnya, Kamis, 5 Februari 2025.
Lebih lanjut, Andina menyatakan bahwa DPR gagal logika karena menganggap peraturan DPR sebagai peraturan perundang-undangan yang sama dengan Undang-Undang, PP, dan jenis yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 12 tahun 2011.
“Jadi ini menentang asas Lex Superior derogate legi inferiori. Kedudukan peraturan DPR jelas berada dibawah UUD NRI tahun 1945 dan UU, namun ego DPR terlalu tinggi sehingga menerjemahkan mandat rakyat kepadanya untuk mengevaluasi pejabat negara yang “lahir” di sidangnya,” tuturnya.
Adapun hak dan kewenangan DPR untuk mengajukan usulan calon Hakim MK, hakim MA, komisioner KPK, panglima TNI dan Kapolri hanya dalam konteks pemilihan anggota lembaga negara, tidak dapat dikaitkan dengan hak untuk mengevaluasi bahkan memberhentikan pejabat tersebut.
“Menurut saya logika ini sungguh over claim hak. Over claim ini juga terjadi dalam penafsiran kelembagaan, seakan Eksekutif, legislatif, yudikatif merupakan lembaga negara yang setara dan tidak subordinatif. Jadi DPR itu tidak bisa mengklaim bahwa berhak mengevaluasi dan memberhentikan,” terangnya.
Menurutnya alih-alih ingin membenahi lembaga, namun apa yang dilakukan DPR ini justru menimbulkan kontroversi hukum.
“Saat ini DPR sebaiknya fokus saja untuk perbaikan kelembagaan, peningkatan kapasitas dan menyusun undang-undang yang pro terhadap kesejahteraan rakyat. Soal fungsi pengawasan dapat dilakukan dengan bijaksana dan tidak menentang peraturan perundang-undangan, apalagi menentang asas sebagai jantungnya hukum,” pungkasnya. (Lingkar Network | Syahril Muadz – Lingkar.news)