JAKARTA, LINKGAR – Pemerintah Indonesia mengambil langkah signifikan dalam upaya mengurangi konsumsi tembakau dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Salah satu poin penting dalam peraturan ini adalah larangan penjualan rokok secara eceran, yang diatur dalam Pasal 434 Ayat 1.
Dalam Pasal 434 Ayat 1, dinyatakan bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau secara satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi aksesibilitas rokok, terutama bagi anak-anak dan remaja yang sering kali membeli rokok secara eceran.
Penerapan kebijakan ini memiliki dampak ekonomi yang signifikan, terutama terhadap penerimaan cukai hasil tembakau (CHT). Hingga semester I-2024, penerimaan CHT tercatat sebesar Rp 97,84 triliun, mengalami kontraksi sebesar 4,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski terkontraksi, angka ini meningkat dari capaian Mei 2024 yang sebesar Rp77,94 triliun.
Bea Cukai: Tak Berdampak Signifikan pada Penerimaan Negara
Melambatnya penerimaan CHT juga dipengaruhi oleh kebijakan relaksasi penundaan pelunasan cukai dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor PER-2/BC/2024. Kebijakan ini memberikan kelonggaran bagi produsen rokok dalam melunasi cukai, yang secara temporer mengurangi pemasukan negara dari sektor ini.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menyatakan, larangan penjualan rokok secara eceran tidak akan berdampak signifikan terhadap penerimaan negara.
“Pembatasan nonfiskal, seperti tidak boleh dijual eceran, itu tidak mengurangi (penerimaan negara),” kata Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Nirwala Dwi Heriyanto kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan, penerimaan cukai dari rokok dipungut dalam tingkat pabrik, sehingga penjualan per batang tidak berpengaruh terhadap pungutan cukai.
“Pungutan satu kotak rokok itu ada tiga, yaitu cukai rokok, pajak pertambahan nilai atas penyerahan hasil tembakau (PPNHT), dan pajak rokok yang totalnya 68 persen. Jadi, kalau misal satu kotak rokok ini harganya Rp10.000, maka pungutan negara itu Rp6.800,” ujar dia.
Menurut dia, kebijakan pembatasan nonfiskal lebih menekankan upaya mengurangi prevalensi merokok, alih-alih menjadi strategi penerimaan negara.
Dengan larangan penjualan rokok secara eceran, diharapkan dapat mengurangi keinginan masyarakat membeli rokok karena harga yang mahal. Di samping itu, kebijakan tersebut juga diharapkan dapat mempermudah Pemerintah dalam melakukan pengawasan.
“Kalau harganya jadi lebih mahal, orang akan mengurangi pembelian atau berhenti merokok,” tambahnya.
Larangan penjualan rokok secara eceran tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Pada Pasal 434 Ayat 1, disebutkan bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau secara satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.
Adapun hingga semester I-2024, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tercatat sebesar Rp97,84 triliun, terkontraksi 4,4 persen. Meski terkontraksi, nilai itu meningkat dari capaian Mei 2024 yang sebesar Rp77,94 triliun.
Melambatnya penerimaan CHT dipengaruhi oleh kebijakan relaksasi penundaan pelunasan cukai dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor PER-2/BC/2024. Peraturan tersebut memperpanjang penundaan pelunasan dari 60 hari menjadi 90 hari, sehingga sebagian penerimaan Mei 2024 bergeser ke Juni 2024.
Selain faktor itu, downtrading ke golongan rokok yang lebih murah juga disebut memengaruhi perlambatan penerimaan CHT. (NAILIN RA – LINGKAR)