Jakarta, Lingkar.news – Harkunti Pertiwi Rahayu, pakar kebencanaan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Indonesia, mendorong pengampu kebijakan global, khususnya di negara anggota ASEAN agar mengembangkan sistem peringatan dini gempa dan tsunami yang informasinya dapat dijangkau kelompok difabel dan penyandang disabilitas.
“Sistem peringatan dini ini penting, tapi manfaatnya akan diukur ketika bisa direspons oleh semua orang yang berisiko tidak memandang hirarki, termasuk difabel, lalu apakah saat ini sudah dilakukan? Kan belum,” kata dia saat menjadi pembicara dalam Asia Disaster Management and Civil Protection Expo, Conference (ADEXCO) dan Global Forum for Sustainable Resilience (GFSR) di Jakarta, Kamis (12/9).
Harkunti menjabarkan bahwa kalangan pakar mengapresiasi ketika banyak negara dunia saat ini berlomba untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas sistem peringatan dini dengan teknologi canggih termuktahir.
Tapi di sisi lain, ia menilai, para pengampu kebijakan itu cenderung melupakan kalau berbagai jenis teknologi peringatan dini bencana yang dikembangkan tidak akan berarti jika pesan belum bisa menjangkau kelompok difabel.
“Itulah yang terjadi saat ini kalangan yang kurang beruntung itu masih belum diprioritaskan,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi tersebut harus menjadi perhatian bagi negara ASEAN yang belum memiliki sistem peringatan dini gempa dan tsunami bagi kelompok rentan, tak terkecuali Indonesia yang 22,5 juta dari total jumlah penduduknya adalah difabel.
“Bayangkan gempa dan tsunami terjadi di jam anak-anak sekolah dan itu sekolah SLB. Katakanlah di Padang, Sumatera Barat, yang mana 2/3 murid sekolah ada di wilayah rentan gempa dan tsunami.
Mereka juga harus punya akses ke sistem peringatan dini supaya bisa menghindar ketika bencana,” kata dia.
Untuk itu, Harkunti yang juga Anggota Komite Saintifik Program Tsunami Dekade Kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa (ODTP) ini berharap hal kondisi tersebut dapat segera ditindaklanjuti, sebagaimana yang telah diatur dalam kesepakatan UN IOC ODTP bahwa 100 persen masyarakat rentan dunia harus memiliki akses ketahanan bencana tsunami pada 2030.
Dalam paparannya dicontohkan peringatan dini bencana dengan fitur sandi getar ponsel menjadi salah satu yang dapat dikembangkan sehingga informasi tsunami bisa dijangkau oleh kalangan tunanetra, tunarungu dan tuli.
ADEXCO merupakan pameran internasional yang menghubungkan antara perusahaan, instansi pemerintah, dan para ahli di industri untuk menjadi tempat bertukar ide, keahlian, dan informasi produk terkait manajemen bencana dan industri.
Pada ADEXCO 2024 ini melibatkan sebanyak 126 perusahaan dari 14 negara, seperti Jerman, Singapura, Brunei, dan China.
Sedangkan GFSR adalah forum pembicaraan tingkat tinggi dari delegasi negara ASEAN, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) terkait resiliensi berkelanjutan, program adaptasi perubahan iklim, dan refleksi 20 tahun bencana tsunami Samudra Hindia.
Pameran ADEXCO 2024 dan GFSR itu berlangsung pada 11-14 September 2024 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, dan terbuka untuk masyarakat umum. (rara-lingkar.news)