JAKARTA, Lingkar.news – Dalam RPJMN 2020-2024 pemerintah menargetkan Universal health coverage (UHC). Hingga saat ini peserta BPJS Kesehatan mencapai 267.311.566 atau 95,77 persen dari penduduk Indonesia. Sayangnya dari jumlah itu 54 juta diantaranya tidak aktif.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, mengingatkan bahwa hakikat UHC adalah masyarakat memiliki akses pada layanan kesehatan yang berkualitas tanpa mengalami kesulitan teknis maupun kendala keuangan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 82 tahun 2018 yang mewajibkan seluruh rakyat untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan. Bagi yang mampu tentu membayar iuran sendiri, tapi yang tidak mampu harus dibiayai pemerintah.
“Kesehatan itu hak dasar masyarakat yang dijamin oleh negara,” kata Edy saat rapat dengar pendapat dengan Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan Rabu, 27 Maret 2024.
Legiselator dari Dapil Jawa Tengah III ini menyebutkan ada 54 juta peserta BPJS Kesehatan yang tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan. Ini lantaran mereka termasuk peserta tidak aktif, dengan rincian 15.202.292 peserta menunggak dan 38.567.086 peserta nonaktif mutasi.
“Jadi peserta yang aktif dan rutin membayar hanya 214 juta atau 77 persen,” ucap Edy.
DPR RI Edy Wuryanto Nilai Layanan JKN KIS Tunjang Capaian UHC di Blora
Jika mengacu pada konsep UHC, maka baru 77 persen rakyat Indonesia yang dapat mengakses kesehatan tanpa kendala biaya dan kesulitan teknis lain.
“Saya belum melihat upaya pemerintah untuk mengajak 54 juta peserta tidak aktif menjadi aktif lagi,” kata Edy yang merupakan politisi PDI Perjuangan.
Menurut Edy, hal yang memprihatinkan adalah mereka yang tidak aktif kerap tidak tahu. Mereka baru menyadari status kepesertaannya setelah sakit dan membutuhkan layanan kesehatan.
“Kalau orang itu tinggal di wilayah yang belum UHC, maka tidak bisa langsung diaktifkan kepesertaannya. Harus menunggu 14 hari kerja,” ucapnya.
Edy menyebut ada beberapa instrumen yang bisa digunakan untuk meningkatkan peserta BPJS Kesehatan. Misalnya memaksimalkan kepesertaan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Dari data yang didapatnya, mayoritas peserta nonaktif adalah Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU).
“PBPU ini kebanyakan adalah UMKM yang dimana banyak juga termasuk tidak mampu,” katanya.
Jumlahnya ada 15.023.785 PBPU yang menunggak dan 38.567.086 peserta non aktif karena mutasi. Totalnya lebih dari 53 juta orang.
“Padahal aturan yang ada sudah mendukung. Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2023 kuota PBI 113 juta orang di 2024 dan sekarang baru 96,8 juta orang yang masuk PBI APBN,” ucapnya.
Jika dilihat dari aturan ini, Edy mengapresiasi niat pemerintah yang ingin menjamin hak kesehatan bagi rakyatnya. Hanya saja dalam implementasi belum maksimal.
Pihaknya mengusulkan skema untuk penghapusan sebagian iuran yang tertunggak. Ini akan meringankan peserta non aktif. Ide ini muncul karena adanya tax amnesty.
“Pemerintah pernah membantu orang kaya dengan tax amnesty, tentu ini saatnya untuk memberikan write off (penghapusan) tunggakan dan sisanya dibolehkan mencicil,” sambungnya.
Oleh karena itu pihaknya mendesak pemerintah segera mencarikan solusi agar 54 juta peserta tidak aktif ini menjadi aktif kembali. Selain dapat mewujudkan UHC juga menyehatkan BPJS Kesehatan.
Dari seluruh peserta yang nonaktif tersebut, Per 29 Februari 2024, total tunggakan iuran sebesar Rp 20,59 triliun.
“Jika 40 persen diwujudkan maka BPJS Kesehatan dapat menerima pendapatan riil nilainya sekitar Rp 8 Triliun,” katanya.
Edy menyebut pendapatan ini bisa menutup potensi defisit tahun berjalan di 2023. Menurut prediksi beban pembiayaan BPJS Kesehatan tahun ini 158 triliun tapi penerimaan iuran sekitar Rp 151 triliun. Sehingga ada potensi defisit Rp 7 triliun. (Lingkar Network | Lingkar.news)