JAKARTA, Lingkar.news – Akhir-akhir ini, Citayam Fashion Week (CFW), menjadi isu yang ramai atau menjadi viral karena diperbincangkan oleh warganet. Apa yang istimewa dari CFW ini?
Citayam Fashion Week (CFW) bermula saat sejumlah konten di media sosial TikTok menampilkan sosok sejumlah anak baru gede atau ABG yang nongkrong di Kawasan Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta. Identik dengan nama Eka Satria Putra atau Bonge dan Jasmine Laticia atau Jeje.
Keberadaan CFW, menjadi sarana para anak muda dari “SCBD” atau Sudirman, Citayam, Bojonggede dan Depok untuk mengekspresikan diri mereka secara jujur melalui fashion.
Selain gaya bicara mereka yang polos, penampilan mereka juga cukup menyita perhatian warganet dengan memakai pakaian jenama lokal dan unik.
Para pemain CFW itu, mayoritas merupakan anak muda yang berasal dari daerah penyangga DKI Jakarta seperti Depok dan Bogor, Jawa Barat. Kemudahan akses transportasi menjadi faktor pendukung yang memudahkan para ikon Citayam Fashion Week seperti Bonge, Jeje dan Roy cs ini menginjakkan kaki di ibu kota.
Hal tersebut seolah mengukuhkan DKI Jakarta sebagai pusat referensi, rujukan perilaku, rujukan produk, rujukan pemikiran, bagi generasi muda di luar daerah.
Tak hanya para remaja dari daerah penyangga DKI Jakarta, akhir-akhir ini, kalangan rich people hingga pesohor tanah air seperti model Paula Verhoeven juga mulai menginvasi Citayam Fashion Week.
Setiap fenomena baru yang muncul ke publik, termasuk hingar bingar remaja bergaya unik ala CFW, memunculkan dua sisi, yakni positif dan negatif.
Ya, tumpukan sampah, kemacetan lalu lintas hingga para remaja yang tertidur di trotoar jalan dekat Stasiun BNI City, Sudirman, Jakarta Pusat, menjadi sisi negatif yang timbul dari fenomena CFW.
Menyikapi fenomena CFW, akademisi dari Universitas Pasundan (Unpas) Dr H Deden Ramdan menuturkan pada dasarnya banyak hal potensial yang bisa dioptimalkan oleh pemerintah dengan hadirnya fenomena CFW.
Potensi tersebut, kata Deden Ramdan, bisa menjadi hal yang positif bagi roda ekonomi sekitar, seperti street food hingga jenama (merek) lokal yang muncul karena dipakai oleh para ikon-ikon Citayam Fashion Week melalui metode endorse.
“Kalau kita lihat, sekarang itu ikon-ikon Citayam Fashion Week ini muncul dengan pakaian buatan desainer lokal. Mereka sengaja di-endorse oleh brand lokal. Dan ini bagus, brand memanfaatkan mereka untuk memasarkan produk ke publik,” kata dia.
Tak hanya itu, jika melihat sejarah, kemunculan Citayam Fashion Week ini hampir mirip dengan salah satu kiblat fashion dunia, yakni Harajuku Style, di Jepang.
“Menurut saya, ini hampir sama dengan kemunculan Harajuku di Jepang. Awalnya dianggap aneh, nyeleneh tapi lama kelamaan publik menerima,” kata Deden Ramdan, yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor III Universitas Pasundan.
Bukan hal yang mustahil, gaung Citayam Fashion Week bisa seperti Harajuku Style, Jepang, jika pihak terkait bisa memberikan treatment yang tepat.
“Jika Citayam Fashion Week ini tidak dikelola, di-treatment dengan baik oleh pihak terkait seperti pemerintah, maka saya menilai ini akan menjadi fenomena sesaat, lama kelamaan akan dilupakan oleh publik,” katanya.
Dia juga menilai para remaja SCBD tersebut penuh dengan potensi kreativitas dan ide cemerlang kekinian yang bisa berdampak positif.
Secara umum, dia memandang bahwa fenomena ini sebagai hal yang positif dan dirinya berharap CFW dapat menjadi komunitas yang dikenal secara positif tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia Internasional.
Dia juga mengimbau para remaja untuk tetap mematuhi aturan yang ada seperti membubarkan diri sebelum larut malam, termasuk memasuki protokol kesehatan karena Covid-19 masih ada.
Untuk melakukan pengurangan dampak negatif, perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah.
Pemerintah daerah DKI Jakarta bekerja sama dengan pemda daerah penyangga ibu kota seperti Depok dan Bogor, diharapkan mengedepankan metode persuasif dan merangkul mereka dengan cara berdialog untuk menekan dampak negatif dari Citayam Fashion Week. (Lingkar Network | Lingkar.news)