JAKARTA, Lingkar.news – Komisi IX DPR RI meminta pemerintah tidak tergesa-gesa untuk mencabut moratorium pengiriman PMI (pekerja migran Indonesia) ke Arab Saudi dan harus dibarengi dengan strategi perlindungan yang jelas.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menegaskan bahwa pencabutan moratorium PMI harus didukung dengan perbaikan tata kelola yang memastikan hak-hak PMI terpenuhi dan perlindungan mereka lebih optimal.
“Saya khawatir ini asal buka sementara belum ada perbaikan tata kelola,” kata Edy.
Politisi PDI Perjuangan itu juga menilai Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) baru bekerja. Kekhawatiran lainnya adalah program untuk perbaikan tata kelola serta pelatihan PMI masih sangat terbatas.
“Pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dengan menghadirkan solusi konkret, bukan hanya sekadar membuka kembali pengiriman tanpa kesiapan,” imbuhnya.
Berdasarkan data dari BP2TKI pada 2023, Arab Saudi bukan tujuan utama PMI dibandingkan negara lain. Jumlah PMI terbesar berangkat ke Taiwan sebanyak 39.178 orang, Hongkong 33.639 orang, Malaysia 38.478 orang, Jepang 4.927 orang, dan Korea Selatan 6.999 orang.
Sementara itu, Arab Saudi hanya menerima 2.424 PMI. Namun, meskipun jumlah PMI di Arab Saudi lebih kecil, negara ini justru mencatat aduan tertinggi dari PMI.
Data BP2TKI 2023 menunjukkan bahwa pada Juni 2023, terdapat 261 aduan dari PMI di Arab Saudi, lebih tinggi dibandingkan Malaysia (137 aduan), Hongkong (117 aduan), Taiwan (115 aduan), dan Kamboja (26 aduan).
Legiselator dari Dapil Jawa Tengah III ini menegaskan bahwa Komisi IX DPR RI menunggu respons dari Kementerian PPMI terkait strategi dan kesiapan perangkat negara dalam melindungi PMI di Arab Saudi.
“Kami meminta Kementerian Perlindungan PMI memaparkan strategi dan kesiapan perangkat aparat kita dalam melindungi PMI di Arab Saudi,” tegasnya.
Edy tidak ingin pemerintah tidak memiliki agenda dan strategi perlindungan yang mumpuni. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pemerintah harus memiliki kemauan politik yang jelas dalam memastikan pencabutan moratorium ini didukung dengan perbaikan menyeluruh dalam pemberdayaan, penempatan, dan perlindungan PMI.
“Kami Komisi IX menunggu respon dari Kementerian Perlindungan PMI untuk memaparkan agenda dan strategi pemberdayaan, penempatan, dan perlindungan PMI di Arab Saudi,” ungkapnya.
Malaysia Deportasi 396 Pekerja Migran Indonesia Awal 2025, Ada Apa?
Saat ini, revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia sedang dalam pembahasan dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Edy berharap revisi ini akan menghadirkan sistem perlindungan yang lebih baik bagi PMI, terutama dalam aspek upah, jaminan sosial, asuransi di negara tujuan, perlindungan hukum, serta pengawasan ketat dari pemerintah di negara tujuan seperti Arab Saudi.
“Hak-hak PMI, seperti upah yang layak, jaminan sosial, asuransi di negara tujuan, serta perlindungan hukum harus benar-benar dikawal oleh pemerintah kita, termasuk di Arab Saudi,” katanya.
Edy juga menyoroti pentingnya peran aparat desa, pemerintah daerah (pemda), dan pemerintah pusat dalam proses pemberdayaan, penempatan, dan perlindungan PMI. Menurutnya, semua pemangku kepentingan harus meningkatkan kualitas kerja mereka untuk memastikan bahwa PMI mendapatkan perlindungan optimal sejak dari daerah asal hingga negara tujuan.
“PMI kita harus benar-benar terlindungi, bukan hanya dilepas begitu saja tanpa pengawasan,” ucap Edy.
Edy mengakui bahwa pencabutan moratorium bisa menjadi solusi dalam mengatasi pengangguran yang masih tinggi di Indonesia.
Berdasarkan data terbaru, tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 7,47 juta orang atau 4,9 persen per Agustus 2024, dengan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus meningkat.
“Paling tidak, penempatan PMI ke Arab Saudi bisa membantu menurunkan tingkat pengangguran terbuka kita,” pungkasnya. (Lingkar Network | Lingkar.news)