PATI, Lingkar.news – Beroperasinya Hotel D’ayanna di Desa Puncel, Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati, Jawa Tengah menuai penolakan warga. Hotel tersebut dinilai hanya menimbulkan keresahan karena jadi sarang maksiat.
Menurut Kepala Desa Puncel, Sutiyono, pembangunan hotel tersebut semula untuk koperasi.
“Pembangunan itu IMB-nya untuk koperasi,” jelasnya singkat melalui pesan tertulis, Rabu, 10 Juli 2024.
Akan tetapi, rupanya koperasi itu kemudian beralih fungsi menjadi hotel. Hal inilah yang memancing reaksi warga, sehingga mereka menggelar aksi demo menolak beroperasinya hotel tersebut pada Senin, 8 Juli 2024.
Menurut kuasa hukum aksi penolakan tersebut, Izzudin Arsalan, SH., MH., pemilik hotel D’ayanna sulit diajak berkomunikasi.
“Yang punya dihubungi hingga sekarang tidak mau menjawab,” terang Izzudin pada Lingkar, Rabu, 10 Juli 2024.
Ia menyebut, hotel tersebut semula adalah koperasi. Namun di tengah jalan, sang pemilik mengalihkan usahanya menjadi hotel.
“Awal mula koperasi, terus pemilik Eko. Di pertengahan jalan tiba-tiba beroperasi hotel itu, tepatnya pada tahun 2022. Waktu hotel itu baru beberapa hari beroperasi, sudah ditolak oleh warga Puncel,” terangnya.
Aksi penolakan pertama terjadi pada 31 Januari 2023. Waktu itu, pemilik hotel juga sudah bertemu dengan kepala desa Puncel. Karena adanya penolakan tersebut, hotel yang beroperasi akhirnya ditutup.
“Ternyata pada bulan Juli 2024, tiba-tiba hotel dibuka kembali. Dan sudah ada izin yang telah dikeluarkan oleh DPMPTSP kepada pihak desa, yang intinya hotel tersebut sudah memiliki izin,” lanjutnya.
Atas izin tersebut, masyarakat Puncel mengajukan keberatan ke Pemerintah Desa (Pemdes). Setelah adanya keberatan dari tokoh masyarakat, tokoh agama, Camat Dukuhseti Agus Sunarko, S.STP., M.Si. pun berinisiatif memanggil pemilik hotel D’ayanna untuk mediasi bersama pada Kamis, 11 Juli 2024.
Izzudin Arsalan menerangkan, dasar penolakan warga ada lima poin. Poin pertama, pemilik hotel D’ayanna dan D’Lala yang berada di Desa Banyutowo, Dukuhseti itu pemiliknya sama.
“Nah hotel D’Lala itu kalau kita buka sosmed pemberitaannya merupakan hotel yang banyak dijadikan tempat negatif. Yang kedua, bahwa Mas Eko ini dalam membuka usaha hotel tidak dengan membuka komunikasi yang baik dengan masyarakat. Yang ketiga hotel D’ayanna ini kan letaknya dekat Mushola, dekat masjid, jadi tidak etis apabila di situ ada bangunan hotel. Yang keempat, Desa Puncel ini juga bukan desa yang ada tempat pariwisatanya, sehingga usaha hotel itu tidak relevan apabila dibangun di Desa Puncel,” jelasnya.
“Yang terakhir pada intinya, warga Desa Puncel ini mencegah potensi adanya tindakkan asusila di hotel tersebut. Sehingga masyarakat menolak atau tidak menginginkan di desa Puncel terdapat tempat yang berpotensi jadi tempat prostitusi,” lanjutnya.
Lebih lanjut ia menyebut, warga Desa Puncel bukannya anti investasi. Namun, mereka mengharapkan investasi tersebut tidak menimbulkan keresahan masyarakat. Contohnya investasi restoran atau pabrik olahan makanan.
“Tapi kalau hotel ini mohon maaf, kalau pemilik hotelnya saja sudah punya hotel yang sebelumnya saja bermasalah, mengapa dia harus mendirikan hotel lagi di desa kami? Secara hitung-hitungan bisnis kan, masa cabang hotel masih ada dalam satu kecamatan. Nalar kami kan tidak masuk hitungan bisnisnya,” tuturnya.
Pihaknya berharap, pemerintah ikut peka dalam mengatasi persoalan tersebut. Karena warga dan pemerintah desa tak menginginkan, maka diharapkan Pemkab mencabut izin beroperasi Hotel D’ayanna di Desa Puncel.
“Harapannya nanti segera Hotel D’ayanna ijinnya dicabut dari dinas ijin operasinya,” tutupnya. (Lingkar Network | Nailin RA – Lingkar.news)