BLORA, Lingkar.news – Muhidin M Dahlan, penulis serta aktivis menanggapi penolakan penamaan jalan Pramoedya Ananta Toer di jalan Baru, Blora.
Penamaan jalan dengan tokoh penulis ternama Pramoedya Ananta Toer itu sebelumnya mendapat penolakan dari organisasi masyarakat Pemuda Pancasila. Ormas tersebut meminta agar penamaan jalan dikaji ulang, karena menilai Pram sebagai tokoh radikal kiri. Penolakan tersebut disampaikan melalui surat yang ditujukan kepada Bupati Blora.
Menurut Muhidin bahwa Pram sebagai manusia yang kontradiktif dan ekstrem itu merujuk pada karya tulis Pram Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Buku itu yang menjadi rujukan penolakan Pemuda Pancasila.
“Bahwa masalah plang nama jalan Pramoedya Ananta Toer yang tidak bisa berdiri karena gagal diresmikan, menemu jawab di buku tersebut. Real jawaban di situ, akarnya di mana ada di buku itu,” terang Muhidin, salah satu pemateri dalam Festival Seabad Pram, Jumat, 7 Februari 2025.
Menurutnya, asumsi umum yang menyatakan Pram terkait proklamasi dibangun tentara, sama sekali tak dipercaya. Sekalipun narasi itu ada dalam pelajaran sejarah.
“Kenapa? karena dalam riset dia (Pram) tidak ada tentara sampai tanggal 5 Oktober. Sementara kemerdekaan berlangsung 17 Agustus. Dua setengah bulan enggak ada tentara,” terang dia.
Selain itu menurut Muhidin, ucapan Pram itu berbahaya karena dapat merusak tatanan narasi sejarah umum. Dalam buku tersebut, Pram dicintai banyak pembacanya namun juga sebaliknya.
“Kan itu yang terjadi dengan plang, andaikan plang nama jalan itu adalah Pramoedya Ananta Toer, begitulah orangnya,” ucapnya.
Kendati demikian, sambung dia, Pram tak pernah benci tentara. Justru Pram adalah seorang militer, yang dipecat lantaran dituduh korupsi.
“Soeharto pun pernah dituduh korupsi. Kemungkinan seratus tahun berikutnya akan sama. Dia dipuji setinggi langit. Di sisi lain dibenci sedalam emas Papua,” ucap aktivis tersebut. (Lingkar Network | Eko Wicaksono – Lingkar.news)