JAKARTA, Lingkar.news – Kebijakan subsidi LPG 3 kilogram masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Upaya pemerintah untuk memastikan distribusi LPG 3 kg tepat sasaran sering memicu kontroversi baru.
Terbaru terkait Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia yang membatasi penjualan LPG bersubsidi secara eksklusif kepada agen resmi Pertamina mulai 1 Februari 2025 semakin memperburuk keadaan.
Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan tersebut malah menimbulkan konsekuensi sosial terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Antrean yang panjang serta keluhan masyarakat terkait sulitnya memperoleh LPG untuk usaha dan kebutuhan sehari-hari menandakan kebijakan tersebut diterapkan tanpa persiapan yang matang.
Kebijakan ini telah memicu ketidakpuasan masyarakat. Tabung LPG 3 kg merupakan kebutuhan pokok bagi jutaan rumah tangga dan usaha kecil, dan gangguan apa pun terkait ketersediaannya akan menimbulkan konsekuensi yang signifikan.
Warga Serbu Pangkalan LPG di Demak, Warga Rela Antre Berjam – jam
Rumah tangga kesulitan memasak makanan, dan banyak pedagang kecil terpaksa menghentikan usaha mereka untuk sementara karena ketidakpastian pasokan gas.
Meskipun Presiden Prabowo Subianto pada akhirnya mencabut kebijakan tersebut hanya empat hari setelah penerapannya, kejadian ini menyoroti kebutuhan mendesak akan reformasi subsidi yang matang untuk memastikan efektivitas program dan meminimalkan kemungkinan adanya gejolak sosial.
Beberapa Penjajakan Distribusi Subsisi LPG 3 Kg
Sebelum keputusan menteri tersebut, pemerintah telah menjajaki alternatif mekanisme penyaluran subsidi LPG 3 kg. Pada tahun 2017 telah dibahas rencana penggunaan Kartu Jaminan Sosial (Kartu Sejahtera) yang diterbitkan Kementerian Sosial dan Kartu Kendali (Kartu Kendali) berbasis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Namun rencana tersebut tidak pernah terealisasi sepenuhnya sehingga permasalahan target distribusi subsidi LPG belum juga terselesaikan.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah mengkaji berbagai alternatif kebijakan untuk meningkatkan efektivitas subsidi energi, termasuk subsidi LPG. Salah satu opsi utama yang sedang dipertimbangkan adalah peralihan dari subsidi berbasis produk ke bantuan langsung tunai (Bantuan Langsung Tunai atau BLT).
Pendekatan ini dipandang lebih efisien dalam memastikan bahwa bantuan keuangan menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah dan rentan sekaligus mengurangi risiko penyalahgunaan oleh penerima yang tidak memenuhi syarat. Alternatif lain termasuk mempertahankan subsidi berbasis produk atau mengadopsi model hibrida yang menggabungkan bantuan tunai langsung dan subsidi produk.
Meskipun mekanisme BLT menawarkan manfaat yang menjanjikan, keberhasilannya sangat bergantung pada data penerima manfaat yang akurat dan dapat diandalkan.
Bahlil Diprotes Warga Tangerang Efek Susah Dapat LPG 3 Kg: Jangan Bikin Susah Warga!
Prabowo Tunjuk BPS untuk Integrasikan Data
Saat ini, pemerintah mengandalkan berbagai database, antara lain DTKS Kementerian Sosial, Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang dikelola Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) di bawah Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Kurangnya sinkronisasi antar-database menyebabkan tumpang tindihnya daftar penerima manfaat, sehingga mengurangi efisiensi distribusi subsidi.
Menyadari betapa mendesaknya permasalahan ini, Presiden Prabowo Subianto telah menunjuk Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk mengintegrasikan sumber-sumber data tersebut ke dalam satu basis data yang terpadu. Konsolidasi basis data ini akan menjadi acuan bagi seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam upaya penyaluran subsidi.
Basis data yang tunggal dan akurat sangat penting bagi keberhasilan reformasi subsidi energi. Dengan sistem yang terintegrasi, pemerintah dapat memastikan distribusi bantuan yang lebih tepat sasaran, meminimalkan kebocoran anggaran, dan menjamin bahwa subsidi hanya menjangkau kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan rentan.
Namun, memiliki basis data terpadu saja tidaklah cukup. Pemerintah juga harus membangun sistem yang dinamis dan berteknologi maju untuk pembaruan data secara real-time.
Kondisi perekonomian penduduk Indonesia cenderung bersifat dinamis — individu yang saat ini tergolong miskin mungkin akan mengalami perbaikan keuangan di tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, data penerima subsidi harus terus diperbarui menggunakan kecerdasan buatan dan analisis big data untuk mencerminkan perubahan kondisi sosial ekonomi.
Selain memperbaiki mekanisme penargetan, pemerintah juga harus memastikan efisiensi infrastruktur distribusi LPG 3 kg. Pembatasan penjualan LPG ke agen resmi Pertamina yang baru-baru ini dilakukan — meskipun kemudian dicabut — menunjukkan bahwa kebijakan distribusi yang terlalu kaku dapat sangat membatasi akses bagi mereka yang membutuhkan.
Pemerintah harus mencapai keseimbangan antara mencegah penyalahgunaan subsidi dan memastikan aksesibilitas bagi rumah tangga berpendapatan rendah. Salah satu solusi potensial adalah digitalisasi distribusi LPG melalui sistem e-voucher atau kode QR. Sistem seperti ini akan memungkinkan penerima yang memenuhi syarat untuk membeli LPG bersubsidi di berbagai outlet yang ditunjuk tanpa harus mengantri panjang.
Beberapa negara telah berhasil menerapkan reformasi serupa dalam sistem subsidi energi mereka. Misalnya, India memperkenalkan skema Direct Benefit Transfer (DBT) untuk subsidi gas untuk memasak, di mana penerima yang memenuhi syarat menerima transfer tunai langsung yang dikreditkan ke rekening bank mereka. Pendekatan ini meningkatkan transparansi dan memastikan bahwa subsidi hanya diberikan kepada mereka yang memenuhi syarat.
Mereformasi sistem subsidi LPG 3 kg bukan sekadar tantangan teknis, namun juga merupakan isu yang sangat politis. Pemerintah harus mengatasi tekanan dari berbagai kelompok, termasuk kelompok yang telah lama mendapatkan manfaat dari peraturan subsidi yang longgar.
Secara historis, setiap upaya untuk mereformasi subsidi energi di Indonesia telah menghadapi penolakan besar dari masyarakat. Misalnya, pengurangan subsidi bahan bakar di masa lalu seringkali memicu protes massal. Hal ini menggarisbawahi pentingnya strategi komunikasi yang terencana untuk memastikan penerimaan masyarakat terhadap reformasi subsidi.
Pemerintah harus melakukan sosialisasi luas sebelum menerapkan kebijakan baru. Meningkatkan kesadaran di kalangan rumah tangga berpendapatan rendah tentang cara mengakses subsidi secara lancar sangatlah penting. Selain itu, transparansi dalam implementasi kebijakan juga penting untuk mencegah misinformasi dan spekulasi yang dapat memperburuk ketidakpuasan masyarakat.
Permasalahan subsidi LPG 3 kg di Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui tindakan jangka pendek dan sementara. Reformasi yang komprehensif dan berkelanjutan diperlukan, mengintegrasikan data penerima manfaat yang akurat, mendigitalkan sistem distribusi, dan memperkuat efisiensi dan fleksibilitas rantai pasokan.
Dengan mengatasi permasalahan mendasar ini, pemerintah dapat memastikan bahwa subsidi energi memenuhi tujuannya: memberikan dukungan penting kepada mereka yang benar-benar membutuhkan serta menjaga stabilitas ekonomi dan sosial di Indonesia. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)