JAKARTA, Lingkar.news – Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyoroti pentingnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan pengemudi ojek online (ojol) dalam rangka memperkuat perlindungan bagi pekerja informal yang semakin berkembang di era digital ini.
Menurut Edy, sektor pekerja berbasis digital khususnya pengemudi ojol berperan sangat penting dalam perekonomian Indonesia, dengan jumlah lebih dari dua juta orang yang bergantung pada profesi ini. Namun, meskipun kontribusinya besar, status hukum pengemudi ojol masih ambigu, terutama terkait dengan hak-hak mereka, termasuk dalam hal pemberian Tunjangan Hari Raya (THR).
Edy menjelaskan bahwa saat ini pengemudi ojol tidak memiliki status pekerjaan tetap yang diatur secara formal oleh pemerintah. Mereka bekerja sebagai mitra mandiri dengan platform digital seperti Gojek atau Grab. Sebagai mitra, pengemudi memiliki fleksibilitas dalam mengatur waktu kerja dan jumlah jam yang mereka pilih.
Pengemudi ojol tidak terikat oleh hubungan kerja formal seperti pekerja tetap, yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, hak-hak mereka juga berbeda dengan pekerja tetap, termasuk dalam hal pemberian THR.
Pemberian THR, menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan, biasanya hanya berlaku bagi pekerja yang memiliki hubungan kerja tetap dengan perusahaan. Ini berarti pengemudi ojol, yang bekerja berdasarkan perjanjian kemitraan, tidak berhak mendapatkan THR sebagaimana diatur bagi pekerja formal.
Oleh karena itu, menurut Edy, pemberian THR kepada pengemudi ojol perlu dilihat lebih dalam, mengingat perbedaan mendasar status mereka. Edy menekankan bahwa pemerintah dan platform aplikasi dapat mempertimbangkan untuk memberikan bentuk insentif lain yang tidak terikat dengan kewajiban THR, seperti bantuan sosial atau program insentif yang lebih mengarah pada dukungan terhadap kesejahteraan mitra.
Edy menyarankan agar pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang lebih jelas terkait dengan kesejahteraan pengemudi ojol.
“Salah satu solusi yang mungkin ditempuh adalah pemberian insentif atau kompensasi berupa bantuan sosial, tali asih, atau bonus insentif khusus, yang bukan merupakan kewajiban yang diatur dalam regulasi ketenagakerjaan, tetapi lebih merupakan bentuk dukungan dari platform aplikasi kepada mitra pengemudi mereka,” tuturnya.
Selain itu, kata Edy, pemerintah perlu merujuk pada beberapa regulasi yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur hak pekerja tetap, termasuk pemberian THR. Sementara itu, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 juga mengatur pemberian THR, namun hanya untuk pekerja yang memiliki hubungan kerja formal.
Menurut Edy, pengemudi ojol meskipun mereka bekerja dalam ekosistem digital yang terstruktur, status mereka tetap tidak termasuk dalam kategori pekerja tetap. Oleh karena itu, regulasi ini tidak berlaku untuk mereka.
Peraturan Menteri No. 8 Tahun 2022 tentang Sistem Kerja dan Kemitraan Digital dapat menjadi landasan untuk memperjelas hubungan kemitraan dalam sektor digital, termasuk pengemudi ojek online. Namun, hal ini tidak mengubah fakta bahwa mereka berstatus sebagai mitra mandiri yang tidak terikat oleh kewajiban yang sama dengan pekerja tetap.
Secara keseluruhan, menurut Edy, meskipun pengemudi ojol tidak termasuk dalam kategori pekerja tetap berdasarkan regulasi ketenagakerjaan yang ada, pemerintah masih dapat merumuskan kebijakan khusus yang memberikan dukungan kepada mereka.
“Dengan mengklarifikasi status pengemudi sebagai mitra, yang berbeda dengan pekerja tetap, akan lebih mudah untuk mendesain bentuk kompensasi yang sesuai dengan model kerja mereka,” ucapnya.
Pemerintah dan platform seperti Gojek dapat bekerja sama untuk mencari solusi yang mendukung kesejahteraan pengemudi tanpa merusak prinsip hubungan kerja kemitraan yang ada. (Lingkar Network | Lingkar.news)