Lingkar.news – Laila Fajrin Rauf tumbuh di lingkungan dengan bacaan dan literasi yang kuat membuatnya terus membaca hingga mendirikan komunitas literasi di salah satu kampus di Semarang. Ia bersama kawan-kawannya mendirikan literasi yang berbasis pada gerakan feministik di pertengahan tahun 2016. Ubai sapaan akrabnya, mengawali gerakan literasi yang hanya berawal dari sekedar advokasi.
Saat ini ia tengah mengembangkan Klub Buku Feministik yang lahir dari komunitas literasinya. Komunitas feministik ini merupakan gerakan kolektif perempuan tetapi gerakan ini terbuka untuk siapa pun.
Menurutnya, gerakan ini berangkat dari sebuah pertanyaan besar di kepalanya pada saat masih mendalami isu pendidikan, ia sempat bertanya tentang banyaknya orang yang menggaungkan kesetaraan gender dan ketimpangan gender. Khususnya di lingkungan pendidikan yang ia tempuh. Dari situlah Ubai bertemu beberapa tokoh feminisme Indonesia dan akhirnya ia bersama kawan-kawannya menggagas komunitas ini.
Kini komunitasnya akan dikembangkan ke ranah literasi. Sebab literasi yang nantinya ia geluti akan menambah kapasitas dirinya serta anggota untuk lebih dapat berbicara banyak terkait fenomena feminisme ini.
Baginya belajar tentang kesetaraan yang ia kampanyekan tidak hanya soal kasta saja. Akan tetapi gerakan ini juga terkait soal keadilan dan kemanusiaan yang tumbuh di masyarakat lebih luas. Melihat fenomena yang ada dalam banyak bidang seperti sektor ekonomi, pendidikan, maupun ruang mana pun, paham patriarki tetap ada. Sehingga perlu ada pengembangan diri untuk menambah isi kepala yang kuat dalam membaca isu terkini agar nantinya keberadaan gerakan ini dapat menjangkau banyak tempat dan mampu memberi kebermanfaatan.
Ia berfikir orang-orang akan jauh lebih hebat jika mereka mendalami literasi yang mengangkat satu isu yang mempunyai kebermanfaatan bagi banyak orang dan bisa mengampanyekan dengan baik,
Menurut Ubai tidak mudah menjadi feministik di lingkungannya saat ini. Mengingat masih banyak pandangan miring terkait gerakan ini. Ubai bahkan sempat mendapatkan tuduhan kebarat-baratan dalam titik lebih ekstrem, ia sempat mendapatkan pandangan feminis ingin menindas laki-laki. Pandangan itu juga masih ada sampai sekarang.
Ubai tidak menyangkal jika feminisme dikatakan berdiri di tengah budaya patriarki yang diartikan sebagai budaya yang memandang salah satu gender lebih rendah. Sedangkan di Indonesia gender yang dinomorduakan cenderung perempuan. Sehingga kesan yang ditampilkan adalah gerakan ini penentangan perempuan terhadap laki-laki. Di sini biasanya perempuan yang dipandang lebih rendah, jadi ada kelas satu itu laki-laki dan kelas ke dua perempuaan yang secara umum terjadi di masyarakat kita, tetapi sebenarnya di sisi lain kesadaran-kesadaran baru yang memandang laki-laki atau perempuan itu manusia yang sama-sama punya hak, itulah yang Ubai perjuangkan. Oleh karena itu, ia berharap masyarakat punya pandangan dan kesadaran mengenai feminisme ini, sehingga penindas salah satu gender bisa dihilangkan. Baginya ini merupakan bentuk ketidakadilan, itu sebabnya gadis berusia 26 tahun dan kawan-kawannya ingin menciptakan ruang yang aman bagi perempuan. (Lingkar Network | Lingkar.news)