JAKARTA, LINGKAR – Kondisi daya beli masyarakat yang tidak stabil atau menurun merupakan waktu yang pas untuk meningkatkan tarif bea cukai dan harga rokok, guna menekan jumlah orang yang merokok.
Hal itu diungkapkan oleh Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Abdillah Ahsan saat diskusi “Mendorong kenaikan CHT demi melindungi kesehatan masyarakat Indonesia” pada Jumat (20/9).
“Kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat yang rendah merupakan waktu yang ideal untuk meningkatkan harga jual rokok, agar yang mengonsumsi rokok menurun. Ini sebenarnya tujuan naiknya tarif cukai,” kata Abdillah Ahsan.
Dengan kenaikan harga di kondisi itu, dia menilai, masyarakat justru akan menggunakan uangnya untuk membeli barang-barang yang lebih bermanfaat, ketimbang harus beli rokok.
Dari data yang disampaikan oleh Abdillah Ahsan, kenaikan cukai atas konsumsi dan produksi rokok di Indonesia sangat berpengaruh besar. Sehingga, para pengambil kebijakan tidak termakan oleh para pengusaha rokok di Indonesia.
“Idealnya itu adalah tarif naik, harga naik, kemudian konsumsinya turun dan penerimaan negara naik,” jelas Abdillah.
Hingga saat ini, perokok aktif yang ada di Indonesia memiliki jumlah yang cukup banyak dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura. Tepatnya di angkat 37,9 persen dari total populasi sebesar 270 juta jiwa.
Angka tersebut memasukkan nama Indonesia menjadi negara nomor 13 dengan konsumsi rokok terbanyak di seluruh dunia.
Degan banyaknya konsumsi perokok di Indonesia, serangan dari penyakit yang dihasilkan dari konsumsi rokok aktif dan pasif juga menghantui masyarakat Indonesia, seperti jantung, kanker, hingga stroke.
Hingga saat ini, masyarakat muda yang ada di Indonesia sudah dekat dengan sakit jantung akibat konsumsi makanan yang tidak sehat, gaya hidup tidak baik hingga konsumsi rokok yang berlebihan.
Bahkan, tingkat kematian yang disebabkan konsumsi rokok sebanyak 8 juta orang setiap tahun. Sebanyak 7 juta orang yang meninggal merupakan perokok aktif, sedangkan 1,2 juta sisanya merupakan perokok pasif. (RARA/NAW-LINGKAR)