LINGKAR.NEWS – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan merupakan hal yang dinamis. Norma yang sedang disusun ini memiliki tujuan untuk memberikan peta jalan bagi stakeholder kesehatan agar berjalan sineri dan tidak berbenturan. Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto pun memahami jika pembahasan ini masih menuai perdebatan alot.
Legiselator yang juga anggota panitia kerja (panja) RUU Kesehatan dari Fraksi PDI-Perjuangan itu meyakinkan bahwa pembahasan aturan ini berlangsung rijit. Harapannya segala aspek yang berkaitan akan dibahas dengan detil. “Semua kami dengarkan dengan baik. Negara ini memiliki instrument profesi dalam mengawal mutu profesi ada pemerintah, konsil, organisasi profesi, kolegium, dan majelis disiplin. Masing-masing punya wewenang dan tupoksi,” katanya saat menjadi pembicara di Forum Hukum Majelis Nasional KAHMI Rabu (1/5).
Edy menceritakan perjalanan panjang RUU Kesehatan ini. Sebagai usulan DPR RI, maka Badan Legiselatif DPR melakukan public hearing dengan berbagai lapisan masyarakat. Termasuk organisasi profesi. Dari hasil public hearing ini maka naskah akademik ini disusun oleh DPR sebagai lembaga yang mengusulkan RUU Kesehatan. Setelah pemerintah, dalam hal ini diwakili Kementerian Kesehatan, menyusun daftar inventasi masalah (DIM) maka pembahasan dilakukan ke DPR kembali. Dalam hal ini Komisi IX dipercaya untuk membahas hal ini. “Undang-undang ini melibatkan banyak sektor yang membahas. Ada Kemenpan, Kemendagri, Kemenkeu, ada juga Kemenkumham,” katanya. Menurut Edy pihak yang ditunjuk masih fokus membahas detil DIM dari pemerintah maupun DPR
Legiselator dari Dapil Jawa Tengah III ini mengungkapkan bahwa tujuan RUU Keseatan ini adalah untuk memastikan negara hadir dalam pemenuhan hak-hak masyarakat di sektor kesehatan. Pandemi Covid-19 yang menyerang Indonesia sejak 2020 menyadarkan semua pihak bahwa sistem kesehatan nasional belum bisa maksimal. “Sistem kesehatan kita tidak cukup untuk menghadapi permasalah yang dihadapi rakyat,” ujarnya. Ini menjadi pemikiran awal RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law.
Indonesia memiliki target universal healt coverage (UHC) 98 persen pada 2024. Sebagian besar rakyat Indonesia sudah menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Harusnya ini menjadi berita menggembirakan. Namun Edy masih menemukan adanya masyarakat yang belum bisa merasakan layanan kesehatan dengan sempuran. “Di daerah pedesaan atau Indonesia Timur, mereka membayar iuran JKN tapi untuk mendapatkan akses kesehatan cukup sulit. Artinya layanan kesehatan belum merata,” ungkap Edy.
Di lain sisi, banyak masyarakat yang juga mengeluh rumah sakit penuh. Harus mengantre pada beberapa jenis penyakit. Bukan berarti tidak ada yang terketuk untuk mendirikan rumah sakit. “Ketika mau mendirikan rumah sakit baru, masalah utamanya adalah kurangnya dokter spesialis,” kata politikus PDI Perjuangan. Edy mencontohkan Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, yang selama ini jadi dapil-nya. Di wilayah tersebut pemerintah daerah sudah membuat fasilitas kesehatan. Sayangnya belum juga mendapatkan izin karena karena tidak ada dokter spesialis yang mau ke Randublatung. “Orang Randublatung kalau sakit, harus jauh ke kota. Apalagi rujukan, sampai Solo dan Semarang,” imbuhnya.
RUU Kesehatan ini mengawal transformasi kesehatan. Mulai memperkuat layanan primer, menata rujukan, kemandirian alat kesehatan, pembiayaan kesehatan, perkembangan teknologi, hingga sumber daya manusia (SDM) kesehatan. Edy mendengarkan adanya keresahan masyarakat dan organisasi profesi dalam pembentukan RUU Kesehatan ini. Untuk itu dia membuka telinga atas semua aspirasi yang datang padanya. “Semua saya catat dengan detil. Jadi mari kita saling memberi masukan untuk membuat regulasi yang baik dan menyinergikan tujuan kita dalam memberikan layanan kesehatan,” ungkapnya.