JAKARTA, Lingkar.news – Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri hingga Agustus 2023, sebanyak 168 warga negara Indonesia (WNI) terancam hukuman mati di luar negeri.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar yakni 157 kasus tercatat di Malaysia, sementara sisanya di Uni Emirat Arab ada 4 kasus, Arab Saudi ada 3 kasus, Laos ada 3 kasus, dan Vietnam ada 1 kasus.
“WNI yang terancam hukuman mati mayoritas tersangkut kasus narkoba yaitu 110 kasus dan sisanya karena terlibat kasus pembunuhan yakni 58 kasus,” kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemlu RI, Judha Nugraha ketika menyampaikan keterangan pers di Jakarta pada Jumat, 29 September 2023.
Selama kurun waktu 2011-2022, Kemlu mencatat 519 WNI sudah berhasil dibebaskan dari ancaman hukuman mati.
Namun, Judha menyoroti jumlah WNI yang bebas dari hukuman mati lebih sedikit dibandingkan penambahan kasus baru.
Misalnya selama tahun 2022 saja, Kemlu mencatat 22 WNI dibebaskan dari hukuman mati tetapi penambahan kasus baru yang terancam hukuman mati yaitu 25 kasus.
“Ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa penanganan kasus tidak bisa dilepaskan dari langkah pencegahan. Jadi langkah pencegahan juga harus diperkuat,” tutur Judha.
Guna membantu para WNI yang terancam hukuman mati, pemerintah melalui perwakilan RI di luar negeri menyediakan akses kekonsuleran, penunjukan pengacara dan penerjemah, serta upaya hukum lainnya sesuai aturan yang berlaku di negara setempat.
“Namun, perlu diingat bahwa tugas negara bukan untuk membebaskan. Tugas negara adalah memberikan pendampingan hukum untuk memastikan bahwa setiap WNI kita mendapat hak-hak hukumnya secara adil di pengadilan setempat,” kata Judha.
Diketahui, saat ini Kementerian Luar Negeri berupaya membebaskan 77 warga negara Indonesia (WNI) dari hukuman mati di Malaysia. Hal ini menyusul penghapusan hukuman mati wajib di negara itu.
Berdasarkan kunjungan langsung yang dilakukan enam perwakilan RI di Malaysia, Kemlu mencatat 77 WNI yang telah dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Persekutuan Malaysia agar hukumannya diringankan.
“Kita akan tunjuk pengacara untuk melakukan pendampingan hukum agar bisa memanfaatkan revisi hukuman (mati) mereka yang sudah inkrah, agar diturunkan menjadi hukuman penjara dengan rentang 30-40 tahun,” kata Judha Nugraha.
Dari jumlah tersebut, 61 kasus tercatat di seluruh Semenanjung, delapan kasus di wilayah kerja Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kota Kinabalu, enam kasus di wilayah kerja KJRI Kuching, serta dua kasus di wilayah kerja Konsulat Republik Indonesia (KRI) Tawau.
Pada 16 Juni 2023, Pemerintah Malaysia mengesahkan dua undang-undang (UU) penghapusan hukuman mati wajib melalui Act 846 Abolition of Mandatory Death Penalty Act 2023 dan Act 847 Revision of Sentence of Death and Imprisonment for Natural Life (Temporary Jurisdiction of the Federal Court) Act 2023.
Melalui UU tersebut, otoritas Malaysia menghapus sifat “wajib” atau mandatory pada hukuman mati dengan menambahkan alternatif hukuman penjara paling singkat 30 tahun penjara dan paling lama 40 tahun penjara.
“Yang perlu disoroti bahwa ini bukan berarti menghapuskan hukuman mati di Malaysia, tetapi menghapuskan mandatory death penalty,” beber Judha.
Dia menjelaskan bahwa saat ini terdapat 11 kategori tindak kejahatan yang pelakunya dapat diancam dengan hukuman mati di Malaysia. Tetapi, dengan adanya penghapusan sifat wajib tersebut, hakim memiliki diskresi untuk menjatuhkan hukuman selain hukuman mati, yaitu hukuman penjara 30-40 tahun.
Mengingat UU penghapusan hukuman mati wajib bersifat restoratif dan untuk menjamin keadilan, otoritas Malaysia mengesahkan pula UU revisi hukuman mati yang memfasilitasi kasus-kasus yang sudah inkrah agar bisa dikaji kembali.
“Jadi memberi kewenangan kepada Mahkamah Persekutuan di Malaysia untuk meninjau kembali kasus-kasus tersebut,” tutur Judha. (Lingkar Network | Ant – Koran Lingkar)