BLORA, Lingkar.news – Polemik penggunaan lahan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) di Desa Getas Kecamatan Kradenan dan Desa Tlogotuwung Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora belum menemui titik temu. Persoalan tersebut melibatkan para petani tebu dengan Universitas Gadjah Mada di Desa Getas yang mengklaim atas pengelolaan lahan di KHDTK tersebut.
Konflik yang berlangsung yakni petani tebu merasa lahan yang dulu dimanfaatkan untuk tanaman tebu itu diserobot oleh UGM. Meski sudah melakukan mediasi pada Selasa, 25 Februari 2025 namun persoalan itu bertambah dengan isu penggusuran rumah warga yang berdiri di lahan hutan tersebut.
Kabar yang berhembus belakangan ini pihak UGM mengklaim lahan yang saat ini dikelola seluas 10.800 hektare termasuk kawasan lahan yang ditanami tebu dan rumah warga.
Seorang warga, Susilo, mengatakan bahwa istrinya sempat didatangi petugas yang memberitahu terkait penggusuran rumah yang didirikan di lahan hutan pada 2004 sebelum ada pihak UGM.
“Saat itu saya sedang bekerja sebagai buruh serabutan dikabari istri saya didatangi pihak UGM. Saya disuruh datang ke kampus UGM. Saya diinterogasi terus dikasih surat pernyataan kalau sampai batas waktu yang ditentukan itu tidak dibongkar saya akan dipidanakan. Jatuh temponya itu bulan Mei tanggal 25 tahun 2025,” terang Susilo saat ditemui pada Jumat, 28 Februari 2025.
Menurut Susilo, terkait pembongkaran bangunan rumah itu tidak ada informasi terkait ganti rugi.
Senada, warga yang akrab disapa Mbah Dari yang tinggal bersama istri dan anaknya itu juga panggil pihak UGM terkait peringatan untuk membongkar rumahnya atau jika menolak maka akan diproses melalui hukum.
Mbah Dari mengaku diberi kesempatan hingga 7 April 2025 untuk pembongkaran mandiri tanpa ada uang ganti rugi.
“Tanggal tujuh, sekitar masa panen jagung. Enggak ada ganti rugi,” ungkapnya.
Sementara itu dari pihak UGM menyatakan bahwa keputusan pembongkaran bangunan di lahan hutan itu merupakan tindaklanjut surat keputusan Kementerian Kehutanan untuk mengelola lahan hutan seluas 10.800 hektare.
Direktur Pengelola KHDTK, Tri Admojo, menjelaskan bahwa lahan seluas 10.800 hektare itu merupakan kawasan hutan negara dan UGM diberi mandat oleh Kementerian Kehutanan untuk mengelola itu.
“Di tahun 2016 Kementerian Kehutanan mengalihkan pengelolaan dari Perhutani ke UGM. Oleh karena itu kami masuk untuk mengelola kehutanan yang ada di sini,” ucapnya.
Tri juga menegaskan bahwa benar berdasarkan amanat yang diterima UGM mengelola lahan seluas 10.800 hektare.
Sementara terkait perintah pembongkaran bangunan dia menyampaikan bahwa itu sesuai dengan temuan Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Jadi kemungkinan (Ditjen Gakum) menemukan hal-hal yang memang tidak sesuai dengan peruntukan hutan negara. Ini untuk hutan atau untuk bangunan, atau untuk apa, kemungkinan seperti itu,” terangnya.
Di Kawasan lahan hutan tersebut juga terdapat papan informasi yang menyebutkan bahwa kawasan tersebut dalam pengawasan Ditjen Gakum Kehutanan.
Terpisah, Kepala Desa Tlogotuwung, Maryono, berharap polemik antara petani dan UGM bisa terselesaikan dengan baik. Namun dari negosiasi yang telah dilakukan, menurutnya, memang tidak ada kompromi dan warga yang menggunakan lahan di situ harus hengkang.
Maryono menyebut saat ini ada sekitar 20 KK yang harus meninggalkan Kawasan hutan.
“Awalnya Cuma tiga yang harus digusur, tapi setelah mediasi yang didampingi Forum Bela Negara Republik Indonesia (FBN-RI) itu merember. Ada 20 yang digusur,” jelasnya. (Lingkar Network | Hanafi – Lingkar.news)