Usai FKOJ Gelar Aksi, Ini Respons Pj Bupati Jepara terhadap Tuntutan Massa

Usai FKOJ Gelar Aksi, Ini Respons Pj Bupati Jepara terhadap Tuntutan Massa

TURUN LAPANGAN: Pj Bupati Jepara Edy Supriyanta (kanan) bersalam-salaman dengan para pengunjuk rasa usai memberikan jawaban dari tuntutan FKOJ di depan Kantor Bupati Jepara. (Tomi Budianto/Lingkar.news)

JEPARA, Lingkar.news – Forum Komunikasi Ormas dan LSM Jepara (FKOJ) melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati Jepara pada Rabu, 26 Juli 2023.

Tuntutan yang disuarakan antara lain: pertama, menuntut Pemkab Jepara segera melakukan pengisian dan pelantikan jabatan Eselon II, III, dan IV. Kedua, meminta kepada Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengusut tuntas dan memeriksa secara terbuka dan transparan Ketua TAPD termasuk siapa saja yang terlibat di dalamnya yang mengakibatkan defisit anggaran sebesar Rp 80 miliar untuk diproses secara hukum dan perundangan yang berlaku di Indonesia.

Ketiga meminta Sekretaris Daerah (Sekda) Jepara sebagai Ketua TAPD Jepara mempertanggungjawabkan defisit anggaran dan tidak terisinya jabatan di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Jepara. Keempat, meminta dan menuntut Sekda Jepara Edy Sujatmiko mengundurkan diri atau diberhentikan dari jabatan Sekretaris Daerah Jepara.

Menanggapi aksi unjuk rasa tersebut, Penjabat (Pj) Bupati Jepara Edy Supriyanta langsung melakukan jumpa pers yang dipandu oleh Kepala Dinas Kominfo Arif Darmawan dan sejumlah Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait untuk menjawab sejumlah isu yang menjadi tuntutan pengunjuk rasa.

Edy menegaskan bahwa selama ini tidak ada matahari kembar di Pemerintahan Kabupaten Jepara, antara dirinya dan Sekda.

“Insya Allah tidak akan terjadi. Pak Sekda profesional dan loyal,” tegas Edy.

Terkait dengan isu penataan birokrasi yang terkesan lambat, Pj Bupati Edy Supriyanta mengatakan bahwa semua harus on the track.

“Usulan nama-nama yang akan mengisi kekosongan jabatan tinggi pratama berpangkat Eselon II Pemkab Jepara sudah diajukan. Prosesnya telah dilakukan sesuai prosedur, dilakukan secara bertahap mulai daerah hingga pusat. Tahap pelantikan tinggal menunggu rekomendasi dari Kemendagri turun,” jelasnya.

SAMPAIKAN JAWABAN: Pj Bupati Jepara Edy Supriyanta memberikan jawaban soal tuntutan yang disuarakan FKOJ di depan Kantor Bupati Jepara, pada Rabu, 26 Juli 2023. (Tomi Budianto/Lingkar.news)

Kondisi itu, lanjut Edy, karena adanya keterbatasan kewenangan untuk mengisi kekosongan jabatan definitif di perangkat daerah. Terlebih dulu harus melalui sejumlah prosedur, utamanya dapat rekomendasi dari Kemendagri.

“Kalau daerah dipimpin oleh penjabat bupati memang harus ada tahapan. Insya Allah dalam waktu dekat ini bisa diselesaikan. Tinggal tunggu rekomendasi dari Kemendagri,” ujarnya.

Selain untuk pengisian kursi Eselon II, kata Edy, rekomendasi Kemendagri tersebut juga menyangkut pengisian jabatan kepala sekolah. Termasuk guru-guru pada sekolah hasil penggabungan (regrouping).

“Sudah diajukan ke Kemendagri. Jadi tinggal tunggu nanti surat rekomendasinya,” ucapnya.

Sedangkan untuk kursi Eselon III dan IV yang kosong, Pj Bupati Jepara Edy Supriyanta meminta kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) agar secepatnya diselesaikan.

“BKD supaya masif menyampaikan ke saya untuk segera kita atur, sehingga kekosongan jabatan bisa diatasi dengan baik,” imbuhnya.

Sementara itu, Kepala BKD Jepara Ony Sulisyawan menjelaskan, terkait dengan pelantikan pejabat Eselon II untuk merotasi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jepara, tinggal menunggu turunnya rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Proses panjang dari tingkat kabupaten hingga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah dilalui.

“Pertimbangan teknis (Pertek) sudah turun pada 20 Juli 2023 yang lalu, setelah sebelumnya kami mendapat rekomendasi KASN atas hasil uji kompetensi. Pertek BKN sudah kami kirim Kemendagri. Sekarang tinggal menunggu rekomendasi Kemendagri, setelah itu akan segera kita lakukan pelantikan,” ujar Ony.

Ia menyatakan, seluruh tahapan tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku dan bersih dari unsur transaksional. Selain nilai uji kompetensi atau asesmen, terdapat empat dasar terukur yang digunakan oleh BKN untuk memberi Pertek penempatan seorang pejabat dalam JPTP.

“Keempatnya adalah kompetensi jabatan, riwayat jabatan, kompetensi pendidikan, serta rekam jejak pejabat,” kata Ony.

Kemudian terkait alokasi stunting sebesar Rp 114 miliar, Plt Kepala Bappeda Jepara Ratib Zaeni, dalam kesempatan yang sama menjelaskan bahwa dalam penanganan stunting dikenal program spesifik dan sensitif. Program spesifik adalah program untuk menangani secara langsung kasus anak-anak stunting dan ibu yang memiliki risiko melahirkan anak stunting.

“Sementara, untuk program sensitif untuk menangani hal-hal yang dapat mempengaruhi munculnya stunting yang mempunyai dampak 70 persen. Misal Rumah Sehat, Jamban Sehat Air Bersih,” ungkap Ratib.

Ia menyebut, pada tahun anggaran 2023 alokasi dana Rp 114 miliar tersebut digunakan untuk menangani kasus stunting dengan program sensitif dan program spesifik.

“Sekitar Rp 11 miliar untuk spesifik yang digunakan untuk belanja antropometri, susu, dan lain-lain,” tegasnya.

Di sisi lain, Plt Kepala Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan KB (DP3AP2KB) Jepara Muh Ali menambahkan, sekitar Rp 100 miliar untuk intervensi sensitif yang tersebar di beberapa OPD terkait. Seperti DPUPR untuk Pamsimas, Jambanisasi, Disperkim untuk perbaikan rumah sehat, serta DP3AP2KB untuk pendampingan keluarga berisiko dan lain-lain.

“Jadi dipastikan tidak ada duplikasi anggaran. Jadi dana Rp 111 miliar tidak seluruhnya dialokasikan untuk program sensitif berupa intervensi gizi langsung ke anak-anak stunting, tetapi 100 miliar justru untuk program program spesifik yang tersebar di 11 OPD,” kata Muh Ali.

Sedangkan terkait dengan defisit anggaran, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Jepara Ronji menyatakan bahwa perencanaan keuangan daerah adalah tanggung jawab seluruh unsur pemerintahan daerah bukan hanya Sekda yang selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).

“Yang sekarang sedang terjadi sebenarnya bukan defisit dan situasinya masih bisa teratasi. Semuanya berjalan normal, hanya ritme pengeluarannya yang diatur,” tegas Ronji.

Lebih lanjut, ia memberikan penjelasan rinci mengenai kekurangan pembiayaan daerah sebesar Rp 80 miliar tersebut. Pertama, berkurangnya dana yang bisa digunakan dari Pos Silpa akibat aturan defisit anggaran yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan RI.

“Jadi yang terjadi bukan defisit, melainkan kekurangan pendanaan akibat sejumlah perubahan setelah APBD ditetapkan. Kita menganggarkan Silpa sebesar Rp 135,5 miliar. Namun yang riil bisa digunakan hanya Rp 86 miliar. Dari pos ini saja sudah ada uang Rp 49 miliar yang tak bisa digunakan untuk pendanaan akibat aturan yang turun setelah APBD ditetapkan,” jelasnya.

Dalam hal tersebut, Ronji berlandaskan pada Permenkeu RI nomor 194/PMK.07/2022 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD, Batas Maksimal Defisit APBD, dan Batas Maksimal Kumulatif Pembiayaan Daerah Tahun Anggaran 2023.

“Kita semula menganggarkan defisit 5 persen. Tapi berdasar peraturan ini, Jepara yang masuk kategori kapasitas fiskalnya rendah, batas maksimal defisitnya hanya 2,2 persen. Makanya tidak semua Silpa bisa kita gunakan,” katanya.

Di samping itu, lanjut Ronji, terdapat beberapa jenis pendapatan yang dikhawatirkan sulit terealisasi, terutama pajak mineral bukan logam dan batuan lainnya yang harus diturunkan sebesar Rp 31 miliar.

Terkait beberapa kegiatan yang tetap berjalan di tengah kekurangan pendanaan, ia menyatakan bahwa hal itu dikarenakan kegiatan tersebut masuk dalam skala prioritas dalam aturan APBD. Di samping itu, ada juga kegiatan yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang tidak bisa digeser.

“Kalau dulu DAU sifatnya block grant, jadi bisa kita gunakan sesuai kebutuhan daerah. Dalam aturan sekarang, sudah ditentukan penggunaannya sehingga berpengaruh terhadap sistem penganggaran daerah. Misalnya untuk infrastruktur, kesehatan, pendidikan, PPPK, dan kelurahan. Sistemnya transfer dari pusat berdasarkan realisasi. Ini berdampak pada likuiditas kas rekening keuangan umum daerah. Kegiatan-kegiatan inilah yang terus berjalan dan tidak bisa digeser,” tuturnya. (Lingkar Network | Tomi Budianto – Koran Lingkar)

Exit mobile version