Berani Hina Presiden? Ancaman 4,5 Tahun Penjara Menanti

DRAF RKUHP: Rapat Kerja antara Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly dengan Komisi III DPR RI di Ruang Rapat Komisi III DPR RI Gd. Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (09/06). (Istimewa/Lingkar.news)

DRAF RKUHP: Rapat Kerja antara Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly dengan Komisi III DPR RI di Ruang Rapat Komisi III DPR RI Gd. Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (09/06). (Istimewa/Lingkar.news)

JAKARTA, Lingkar.news – Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) terus menggelar sosialisasi Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke sejumlah daerah. Salah satu isu penting dalam Revisi KUHP ini yaitu akan membuka kemungkinan menjerat orang-orang yang menyerang harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden melalui media sosial atau pun sarana elektronik lainnya, dengan hukuman tindak pidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak hingga Rp 200 juta.

Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat akibat keberadaan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres). Hal ini tertuang dalam Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden Bagian Kedua Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam Pasal 218 ayat 1 disebutkan bahwa, “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”

Sementara Pasal 219 berbunyi, “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di RKUHP ini berbeda dengan pasal sejenis yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

“Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau kita membiarkan (penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, red.). Kalau di Thailand, lebih parah. Jangan coba-coba menghina Raja, itu urusannya berat. Di Jepang dan beberapa negara, (pasal penghinaan kepala negara, red.) hal yang lumrah. Pasal ini berbeda dengan apa yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Sekarang kan bedanya dia menjadi delik aduan,” kata Yasonna saat menjawab pertanyaan anggota Komisi III DPR RI dalam rapat kerja yang berlangsung di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Rabu (9/6).

Ia berpendapat, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di RKUHP bukan untuk membatasi kritik. Melainkan, karena setiap orang memiliki hak hukum untuk melindungi harkat dan martabatnya. Yasonna juga menyebut pasal ini sebagai penegas batas yang harus dijaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab.

“Kalau saya dihina orang, saya mempunyai hak secara hukum untuk harkat dan martabat. Bukan sebagai pejabat publik. Saya selalu mengatakan, kalau saya dikritik bahwa Menkumham tak becus, lapas, imigrasi, tidak masalah dengan saya. Tapi kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya, misalnya saya dikatakan anak haram jadah, enggak bisa itu,” ujarnya.

“Kalau kebebasan yang sebebas-bebasnya itu bukan kebebasan, itu anarki. Saya kira kita tidak harus sampai ke sana. Saya kira kita harus ada batas-batas yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab. Keadaban itu saya rasa harus menjadi level kita,” tambahnya lagi.

Yasonna juga berkata, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini sama sekali tak berniat membatasi kritik. Toh, menurutnya, peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia membuka ruang atas kritik tersebut.

“Bukan berarti mengkritik Presiden salah. Kritiklah kebijakannya dengan sehebat-hebatnya kritik, enggak apa-apa. Bila perlu, kalau tetap tidak puas, mekanisme konstitusional juga tersedia kok, tetapi tidak boleh secara personal,” tutur Yasonna.

Menurutnya, Presiden sering dituduh secara personal dengan berbagai isu. Karena itu, ia menganggap pasal pidana untuk penghinaan Presiden dan Wapres sangatlah penting agar Presiden mendatang tidak mengalami penghinaan secara personal lagi.

Lebih lanjut, menteri asal Sorkam, Tapanuli Tengah, ini juga menyebut sosialisasi yang dilakukan oleh jajarannya terkait RKUHP selama ini mendapat respons positif dari masyarakat.

“Soal RUU KUHP, saat ini sudah diadakan roadshow ke sebelas daerah, terakhir di Jakarta, dan mendapat respons positif dari masyarakat. Bahwa ada perbedaan pendapat, itu adalah sesuatu yang lumrah,” ucapnya lagi. (Lingkar Network | Lingkar.news)

Exit mobile version