Westiani Agustin, Penggagas Pembalut Kain Ramah Lingkungan

Westiani Agustin (Dok. Pribadi Westiani Agustin/Lingkar.news)

Westiani Agustin (Dok. Pribadi Westiani Agustin/Lingkar.news)

Lingkar.news – Stigma perempuan sebagai kontributor sampah pembalut sekali pakai sudah melekat di masyarakat Indonesia. Seperti halnya Westiani Agustin (45) seorang penggagas Kantor Biyung (yang bermakna Ibu) pada 2018 sebagai bentuk social enterprise.

Ia bersama kedua anaknya, Ken (17) dan Sang ( 20). Ini juga berangkat dari keinginan untuk berkontribusi mengurangi beban ‘Ibu Bumi’.

Sebelumnya, Ani sapaan akrabnya  pernah mendapati seorang sutradara film independen yang akrab dengan isu-isu lingkungan malah memilih foto seorang pria menunjukkan celana dalam perempuan sebagai contoh sampah yang dibuang masyarakat ke sungai.

Tentu gambar itu merendahkan salah satu gender. Aktivis lingkungan laki-laki menganggap mereka menyelamatkan lingkungan, sedangkan perempuan merusak lingkungan. Kenapa pakaian dalam yang diangkat. Kenapa, misalnya tidak menunjukkan bungkus plastik kresek atau kemasan produk dari perusahaan besar.

Setelah bertahun-tahun bergelut dalam isu pendidikan lingkungan, Ani bersama kedua anaknya itu bekerja sama untuk proyek home schooling yang dapat menjadi salah satu sumber pemasukan bagi keluarga, sekaligus berdampak ke orang lain. Produksi pertama lahir pada 2018 setelah melakukan riset selama sekitar 2 tahun.

Membuat pembalut kain dipilih, karena setidaknya ada sekitar 70 juta perempuan Indonesia mengalami menstruasi aktif. Dengan asumsi, masing-masing perempuan memakai pembalut 20 lembar per bulan, akan ada 1,4 miliar pembalut sekali pakai dan berakhir menjadi sampah.

Dari hitungan tersebut, maka dalam setahun ada 16,8 miliar pembalut. Jumlah tersebut bila dijabarkan luasannya bisa mencapai 378 kilometer persegi atau setara Kota Semarang.

Saat memulai bisnis sosial pada 2018, Ani mengaku, peminat pembalut kain masih sangat sepi. Ia hanya menawarkan ke lingkaran pergaulan terdekat, termasuk juga menawarkan produk melalui media sosial. Namun pada 2019, Ani menuturkan lembaganya terbantu dengan tren zero waste.

Konsumen tidak mikir repotnya mencuci pembalut kain, yang penting zero waste. Mereka ganti semua yang sekali pakai. Namun pada 2020, bisnis itu ikut terdampak pandemi, bahkan berkurang hingga 70 persen, sehingga mau tidak mau penjualan melalui medsos menjadi jalan utama.

Seiring berjalannya waktu, Ani bukan hanya “menjual” pembalut kain, tapi juga memberikan pelatihan dan edukasi mengenai kesehatan reproduksi, cara membuat sendiri pembalut kain hingga bagaimana memproduksi pembalut kain secara massal.

Ani dapat membuat klasifikasi pasang pasar. Pasar pertama adalah 20 persen perempuan kelas menengah maupun menengah atas yang memiliki akses ke internet dan media sosial, sehingga memiliki informasi, kesadaran terhadap lingkungan maupun rasa kritis terhadap penggunaan pembalut kain.

Selanjutnya kelompok pasar 80 persen yang berasal dari kelas menengah maupun menengah bawah, yaitu perempuan yang kurang akses terhadap informasi, namun punya memori mengenai penggunaan pembalut kain oleh ibu atau nenek mereka.

Pasar 20 persen ini memang target dia agar mereka mau membeli pembalut, sedangkan yang 80 persen yang harus juga digarap agar mendapat edukasi lingkungan dan kesehatan reproduksi serta bisa membuat sendiri pembalut kain.

Ani menggaris bawahi misi utama usahanya sebagai gerakan socio enterprise adalah mengumpulkan profit dari penjualan produk berupa pembalut kain dan pelatihan untuk selanjutnya melakukan ‘misi sosial’ dengan profit tersebut.

Sebagai seorang sociopreneur perempuan, Ani terpilih menjadi salah satu dari 9 perempuan Indonesia penerima pelatihan dalam program ‘Deepening Impact of WomenActivators’ (DIWA) untuk Women Social Entrepreneurs (WSEs) dari organisasi Ashoka Indonesia Tahun 2022. (Lingkar Network | Lingkar.news)

Exit mobile version