Lingkar.news – Bagi Luq Yana Chaerunnisa, membulatkan tekad menjadi volunteer setahun lalu merupakan salah satu cara menabung kebahagiaan. Menurutnya, dengan berbagi dan belajar di tengah masyarakat yang ia datangi bisa memberikan kesenangan tersendiri. Apalagi menyelami masyarakat, karakter, hingga budayanya adalah nilai plus yang ia dapati.
“Mengikuti kegiatan volunteer menjadi kebahagiaan dan nilai yang nggak akan ada harganya bagiku,” terangnya saat diwawancarai.
Dara manis yang sering disapa Luqy itu mengatakan dengan kegiatan tersebut bisa ia jadikan sebagai proses mengamalkan nilai yang diyakini. Terutama nilai yang diajarkan oleh kedua orang tuanya sewaktu kecil.
Sejauh ini kedua orang tuanya sangat mendukung apa yang Luqy lakukan. Dan itu sebabnya ia merasa memiliki privilage dengan adanya restu yang diberikan oleh kedua orang tua. Tidak hanya untuk meraih mimpinya, tapi juga untuk bertanggung jawab atas keputusan yang telah ia pilih.
“Sekaligus nilai yang ditanamkan oleh Pae-Bue alias Bapak-Ibuku bahwa ilmu yang bermanfaat ialah ilmu yang diamalkan. Barangkali melalui volunteer aku bisa berbagi dan memanfaatkan ilmuku secara bijak dan bajik,” terangnya.
Gadis kelahiran Pati, 25 November 1998 itu mengaku bukan hanya orang tuanya saja yang membangun kesadarannya tumbuh. Ia menyebutkan nama Gunarti, salah satu perempuan pejuang dari Pegunungan Kendeng, yang juga menjadi motivasi baginya untuk turun ke tengah-tengah masyarakat.
Salah satu yang ia jadikan pegangan dari Gunarti adalah semboyan “roso raiso diwakilke kertas”, yakni sebuah rasa nggak bisa diwakilkan oleh kertas atau bahkan media elektronik apa pun. Sehingga menurutnya belajar bisa lebih peka, responsif, dan empati dengan terjun langsung ke masyarakat.
“Jadi aku bisa melihat secara langsung keadaan di lapangan, termasuk melalui tempat pengabdian jadi alternatif yang baik untuk dilakukan. Supaya bisa mengenal Indonesia, karakter masyarakatnya, dan budaya yang dimilikinya. Hal itu untuk mengajarkan kita perspektif baru dalam melihat suatu hal,” lanjutnya.
Dorongan tersebut yang akhirnya membuatnya tergabung dalam Gerakan Milenial (Gemi) pada Desember 2021 lalu. Ia turun ke masyarakat Bromo sebagai Divisi Fasilitator Lingkungan.
“Kita ada social mapping dulu sebelum terjun lapangan. Jadi, untuk tahu permasalahan yang ada di lokasi pengabdian. Nah, karena kemarin aku di divisi lingkungan, dan lokasi tersebut terdapat persoalan sampah. Jadi, program yang kami canangkan berkaitan dengan itu,” tutupnya. (Lingkar Network | Aziz Afifi – Koran Lingkar)