Lingkar.news – Belajar dari kehilangan yang pernah ia alami, Zaenal Muhlisin berinisiatif membuat sandal jepit ukir. Tak main-main, jasa mengukir sandal jepit ini ternyata amat laris hingga dapat berjalan lebih dari 10 tahun. Bagaimana kisahnya?
Zaenal, begitu ia biasa disapa. Ia pernah kehilangan sandal jepit di Pondok Pesantren. Hal itu, membuatnya berinisiatif mengukir sandal jepitnya miliknya agar punya identitas dan orang berpikir dua kali untuk mengambil sandal jepit miliknya.
Rupanya, sandal jepit berukir ini juga cocok dibisniskan. Tak heran, selama 10 tahun lebih menjalani usaha ini, Zaenal bisa bertahan sejak 2011 hingga sekarang. Pada Koran LINGKAR ia pun membagikan kisahnya.
“Jadi (dulu) sering kehilangan sandal di Pondok, terus dikasih gambar menggunakan bolpoin, tapi lama-kelamaan (tulisannya) hilang. Kemudian terpikirlah untuk mengukir sandal. Tapi mulai jualan baru sekitar tahun 2011,” tuturnya.
Lelaki asli Puncel itu mengatakan, tidak diperlukan keahlian khusus untuk membuat sandal ukir. Dalam menggambar, Zaenal bahkan mengaku tidak memiliki bakat melukis.
Akan tetapi, dirinya tak kehilangan akal. Ia pun mempelajari teknik tertentu untuk memproduksi komoditasnya. Salah satunya dengan menempel kertas yang sudah bergambar, lalu kemudian mengukirnya.
Dalam produksinya, per hari Zaenal mampu mengukir 30 hingga 35 buah sandal. Ia sendiri biasanya memasarkan melalui media sosial.
Sandal buatannya berkisar antara Rp 20 ribu sampai Rp 150 ribu. Hal itu berdasarkan kerumitan gambar yang ia buat. Contoh motif yang rumit baginya adalah wayang dan batik.
“Yang beli langsung ke sini jarang, 90 persen beli via online. Kalau modal sehari sekitar Rp 300 ribu. Untuk harga sandal ukir beda-beda. Kalau tulisan nama itu sekitar Rp 20 ribu. Kalau seperti gambar atau logo sekitar Rp 25 ribu,” jelasnya.
Ke depan Zaenal juga memiliki target untuk menyasar sejumlah tempat keramaian. Seperti, sekitar sekolah dan juga Alun-Alun. Hal itu dilakukan supaya penjualan produknya semakin meningkat.
“Pendapatan sebulan kurang lebih Rp 5 juta. Sedangkan sebelum pandemi Covid-19 bisa mencapai Rp 12 juta. Saya beli langsung ke pabrik, ada channelnya dan terkadang juga beli di grosir. Jadi kalau ada pesanan, baru beli bahan,” tutupnya. (Lingkar Network | Aziz Afifi – Koran Lingkar)