KAIMANA, Lingkar.news – Badan Layanan Umum Daerah Unit Pelayanan Teknis Daerah (BLUD-UPTD) Kawasan Konservasi Perairan Kaimana-Fakfak mengusulkan terbitnya Peraturan Gubernur Papua Barat mengenai perlindungan ikan hiu dan pari khusus di dalam kawasan konservasi.
Kepala BLUD-UPTD KKP Kaimana-Fakfak, Eli Auwe, mengatakan gagasan perlindungan ikan hiu dan pari muncul setelah mempertimbangkan keberadaan dua biota laut tersebut yang memiliki kelebihan dalam memberikan perlindungan terhadap kesehatan laut dari ancaman kerusakan.
Pengelolaan kawasan konservasi perairan Kaimana sudah ditetapkan melalui Keputusan Menteri KKP Nomor 25/KEPMEN-KP/2019 tentang Kawasan Konservasi Perairan Buruway, Arguni, Kaimana, dan Teluk Etna dan perairan sekitarnya seluas 499.804,13 hektare.
Sedangkan kawasan konservasi Fakfak ditetapkan melalui Keputusan Menteri KKP Nomor 79/KEPMEN-KP/2020 tentang Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Lulai Kecil Teluk Berau dan Teluk Nusalasi-Van Den Bosch seluas 346.807,87 hektare.
Eli mengatakan untuk menjaga kawasan konservasi yang sudah ditetapkan ini maka dibutuhkan sebuah langkah perlindungan terhadap biota laut tertentu, seperti hiu dan pari.
Hal itu perlu diatur melalui peraturan turunan, seperti peraturan gubernur atau peraturan bupati.
“Kami sudah mulai gagas melalui sosialisasi dan workshop tentang inisiasi perlindungan ikan hiu, pari, satwa terancam dan endemik melibatkan sejumlah lembaga. Melalui workshop ini, kita ingin mendorong terbitnya peraturan gubernur terkait perlindungan hiu dan pari dalam kawasan konservasi,” ujarnya.
Ikan hiu dan pari, kata Eli, membutuhkan perlindungan sebagai kedua biota laut itu diibaratkan seperti dokter di perairan laut yang bisa merawat dan memulihkan kondisi terumbu karang dan padang lamun yang rusak.
“Hiu itu predator kunci, tetapi tanpa kita sadari hiu juga berperan sebagai dokter di laut. Ketika hiu terjaga dengan baik maka dipastikan perairannya sehat, dalam arti lautnya terjaga, karangnya bagus sehingga ikannya berlimpah. Pari pun sama, kerjanya memakan karang yang mulai rusak sekaligus memulihkan karang itu, lalu kotorannya dibuang menjadi pasir yang indah,” jelas Eli.
Inisiasi untuk mendorong terbitnya pergub perlindungan hiu dan pari ini hanya untuk kepentingan kawasan konservasi sehingga ketika nelayan memasuki zona konservasi tidak diperbolehkan mengambil hasil.
“Kalau di zona perikanan berkelanjutan atau zona pemanfaatan terbatas itu dibolehkan. Tapi, ada batasannya, baik terkait penggunaan alat tangkap ataupun lainnya yang bisa mematikan ikan-ikan kecil,” terangnya. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)