Lingkar.news – Menyambut hari tanah sedunia setiap tanggal 5 Desember, isu malnutrisi, kekurangan atau kelebihan nutrisi pada manusia menjadi isu penting yang kini memaksa para ilmuwan tanah terlibat.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO), bahkan secara khusus mempromosikan pentingnya riset bersama ahli kesehatan dengan ahli tanah untuk mengatasi malnutrisi terutama stunting.
Nutrisi yang dibutuhkan manusia berasal dari tanah, sehingga kekurangan unsur hara tertentu di dalam tanah dapat membuat malnutrisi bagi manusia yang hidup di atasnya.
Hubungan tanah dengan kesehatan manusia itu kemudian menjadi relevan didiskusikan pada Senin, 5 Desember 2022, karena bertepatan dengan hari tanah sedunia.
FAO melalui Global Soil Partnership (GSP) mengusung tema hari tanah tahun ini Soils: Where food begins alias tanah di mana pangan bermula.
Tanah menjadi tempat tumbuhnya biji-bijian, sayuran, dan buah-buahan yang menjadi pangan manusia. Demikian pula pangan berupa daging sapi, kerbau, kambing, dan ayam juga kualitasnya ditentukan oleh tanah karena pakan hewan berasal dari tanaman yang tumbuh di atas tanah.
Di masa lalu hubungan kesehatan tanah dengan kesehatan manusia seperti stunting, sulit dibuktikan dan dijelaskan secara terang karena begitu kompleks.
Pada konteks Indonesia, contoh yang pernah diteliti 25 tahun silam adalah hubungan stunting pada anak dengan kekurangan seng (Zn) di dalam tubuh.
Sunar, pengajar Universitas Borobudur, yang sedang menempuh studi doktoral pada 1999 di Institut Pertanian Bogor (IPB), menyimpulkan tidak ada pengaruh langsung antara kadar seng di dalam tanah dengan kadar seng di dalam tubuh anak-anak yang ditelitinya.
Demikian pula pengaruh tidak langsung kadar seng di tanah melalui air, tanaman, dan pangan yang dikonsumsi sangat kecil.
Sunar justru menyebut kondisi sosial budaya seperti tingkat pendapatan yang berpengaruh penting terhadap kecukupan seng dalam tubuh anak-anak.
Sebab, menurut Sunar, ketersediaan seng dalam tanah hanya berhubungan langsung dengan tanaman dan air, kontribusi seng dari tanaman terhadap kecukupan seng pada manusia sangat kecil, dan sebagian sumber pangan nabati penduduk di wilayah kajiannya berasal dari luar wilayah desa.
Tiga tahun berikutnya, penelitian lain di Kecamatan Leuwiliang dan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, oleh Aslis Wirda Hayati dari Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, menguatkan riset Sunar.
Aslis menyimpulkan bahwa, faktor penentu status seng pada ibu hamil adalah pendapatan rumah tangga. Pendapatan yang tinggi membuat ibu hamil dapat mengkonsumsi tempe, tahu, daging, ikan, dan telur yang kaya seng sehingga kebutuhan seng terpenuhi.
Kolaborasi Riset
Hubungan antara kandungan seng tanah dengan kandungan seng dalam tubuh manusia yang kompleks ini membuat kolaborasi riset ilmuwan tanah dengan ilmuwan kesehatan masih langka.
Baru belakangan ini FAO, Bappenas, dan Kementan mendorong pentingnya kolaborasi riset ilmuwan kesehatan dengan ilmuwan tanah. Terminologi tanah sehat untuk kehidupan vegetasi, hewan, dan manusia yang sehat semakin terus digaungkan.
Sebab, penggunaan pupuk makro NPK di sentra-sentra pertanian utama yang mengabaikan pupuk mikro membuat tanah kekurangan unsur hara mikro termasuk seng.
Daerah-daerah yang semula mengandung seng cukup mulai mengalami penurunan sehingga jumlah seng dalam biji-bijian termasuk padi, kedelai, dan serealia juga menurun.
Pada konteks ini, pemupukan seng atau fortifikasi seng pada produk pertanian menjadi penting untuk mengatasi kekurangan seng pada manusia.
Baru-baru ini riset Dr. Leah Bevis dari Department of Agricultural, Environmental, and Development Economics, The Ohio State University; Dr. David Guerena, dari International Maize and Wheat Improvement Center (CIMMYT) Nepal; dan Kichan Kim, dari Department of Agricultural, Environmental, and Development Economics, The Ohio State University berhasil mengungkap hubungan kadar seng di dalam tanah dengan stunting pada manusia di Asia Tenggara menjadi lebih terang.
Ketiganya, meneliti di Nepal pada 2019 dengan menggunakan data kesehatan penduduk pada tahun 2006, 2011, dan 2016.
Berikutnya mereka menumpuk sebaran data spasial kesehatan tersebut dengan sebaran data spasial kandungan seng di dalam tanah. Mereka memilih daerah-daerah yang relatif terisolasi untuk memastikan penduduk di daerah tersebut hanya mengkonsumsi pangan lokal dari daerah tersebut.
Riset mereka menyimpulkan, anak-anak yang kekurangan seng dan mengalami stunting lebih banyak ditemukan di tanah yang memiliki kandungan seng rendah.
Anak-anak yang berpindah dari daerah dengan tanah rendah seng ke daerah dengan tanah tinggi seng mengalami perbaikan.
Demikian pula anak-anak yang tinggal di dekat pasar karena akses mendapat pangan dari luar cenderung memiliki kadar seng yang cukup.
Artikel mereka berjudul ‘Soils and South Asian Stunting: Low soil zinc availability drives child stunting in Nepal’ dipresentasikan di Agricultural & Applied Economics Association Annual Meeting, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat pada 21-23 Juli 2019.
Menurut ketiganya, hasil riset di Nepal tersebut dapat menjelaskan mengapa di negara-negara Asia Selatan yang kandungan seng di tanahnya rendah cenderung masih mengalami stunting meskipun dunia telah modern dan dunia kesehatan telah berkembang pesat.
Sekitar setengah dari anak-anak Asia Selatan, mengalami stunting dan 70-80 persen ibu hamil menderita anemia. Sebagian hasil riset mereka kemudian terbit pada 22 Oktober 2022 di jurnal Health Economics dengan judul ‘Soil zinc deficiency and child stunting: Evidence from Nepal.’
Riset Bevis, Guerena, dan Kim itu seolah menjawab enigma alias teka-teki hubungan stunting di Asia Selatan dengan ketersediaan hara mikro seng dalam tanah.
Pada konteks Indonesia, pemupukan seng pada tanah atau fortifikasi seng pada biji-bijian semakin penting dipertimbangkan pada sentra-sentra pertanian yang mengalami penurunan seng di dalam tanah.
Apalagi Indonesia saat ini telah bertekad mewujudkan kedaulatan pangan dan mengutamakan produk lokal untuk memenuhi pangan penduduknya.
Impor pangan berupa biji-bijian dan daging pun tentu akan semakin dibatasi di masa depan, untuk memberi ruang produk lokal. Riset kolaborasi ilmuwan tanah dan ilmuwan kesehatan pun semakin mendesak. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)