JAKARTA, Lingkar.news – Kriminologi dari Universitas Indonesia (UI), Mamik Sri Supatmi menyebut kasus penganiayaan yang dilakukan Ronald Tannur hingga menyebabkan kekasihnya, Dini Sera meninggal ini merupakan bentuk femisida.
“Saya rasa, buat saya itu adalah suatu bentuk penyiksaan yang berakhir pada pembunuhan, yang patut atau layak disebut sebagai femisida,” kata Mamik, Rabu, 31 Juli 2024.
Menurutnya, femisida tidak boleh disamakan dengan kasus pembunuhan biasa. Sebab ada dimensi misigoni atau kebencian terhadap perempuan dimana korban dibunuh atau disiksa sampai mati.
“Jadi dimensi ini harus diakui tentang aspek gender, aspek keperempuanan yang menjadi faktor dia dibunuh atau disiksa sampai mati, meninggal. Enggak adil kalau kemudian dianggap atau disamakan dengan pembunuhan biasa. Jelas ada kebencian, ada prasangka, ada perendahan yang hidup di dalam kepala dan perasaan pelaku pada korban,” tuturnya.
3 Hakim Pemberi Vonis Bebas Ronald Tannur Dilaporkan, Sifat dan Etika saat Persidangan Disorot
Femisida, sambung dia, dapat menyasar perempuan sebagai korban yang berstatus sebagai istri, kekasih, hingga Pekerja Seks Komersial (PSK).
“Korban perempuan tidak hanya para istri, pacar, tapi juga teman-teman perempuan yang dilacurkan atau pekerja seks. Termasuk pacar atau kekasih, seperti yang dialami oleh Dini,” ucapnya.
Kini, pihaknya tengah mengupayakan langkah advokasi pada ranah hukum dan penegakannya agar femisida dikenali sebagai bentuk kekerasan yang khas terhadap perempuan.
Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Padjajaran (Unpad), Adhie Ramdan menilai pertimbangan hakim soal vonis bebas itu tidak masuk akal. Sebab, kasus dugaan penganiayaan hingga menyebabkan nyawa orang melayang ini tidak mungkin jika tidak ada saksi di TKP.
“Apabila saya bandingkan kasus Jessica yang terbukti meracun Wayan Mirna, tidak ada saksi juga yang melihat Jessica menuangkan racun ke dalam kopi yang diminum Wayan Mirna. Majelis hakim mempertimbangkan alat bukti CCTV yang menunjukkan Jessica menuangkan racun yang ditutupi oleh paper bag,” kata Ajie, belum lama ini.
Ajie menyebut, hakim harusnya tidak mengabaikan CCTV yang ada. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, CCTV dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Selama CCTV mempunyai keterkaitan antara keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Kini, keluarga dari Almarhum Dini Sera Afrianti masih menunggu keadilan hukum. Keluarga beserta kuasa hukum masih ke sana-kemari untuk meminta keadilan tersebut. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)