JEPARA, LINGKAR.NEWS – Kasus kekerasan seksual yang menimpa anak dan perempuan di Kabupaten Jepara masih tinggi. Dari sisi hukum, anggota Komisi A DPRD Kabupaten Jepara Padmono Wisnugroho menyampaikan bahwa tindak pidana kekerasan seksual didefinisikan sebagai segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Pasal 1 angka 1 dan perbuatan kekerasan seksual lainnya.
“Yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan seksual adalah segala bentuk tindak pidana baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 maupun tindak pidana lain yang dinyatakan sebagai tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya,” katanya.
Ia mengungkapkan bahwa jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Bab II tentang tindak pidana kekerasan seksual pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual. Berdasarkan ketentuan tersebut, jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual seperti pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
BACA JUGA : Ketua DPRD Jepara Gus Haiz Pastikan Stok Kepokmas Aman selama Ramadhan
“Selain itu, jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual lainnya yang terdapat dalam pasal 4 ayat 2 undang-undang Nomor 12 Tahun 2022, yaitu perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, dan yang lainnya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pengaturan jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual itu diatur dengan tegas dan jelas dengan tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, untuk menangani, melindungi dan memulihkan korban, untuk melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, untuk mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan untuk menjamin agar hal itu tidak terulang lagi.
Menurutnya, sepadan tidaknya suatu hukuman tergantung dari pihak korban, jadi sifatnya objektif. Ketika korban memang benar-benar korban itu kadang memang tidak sepadan hukumannya, karena yang diakibatkan dari perbuatan itu terhadap korban tidak hanya menimbulkan kerugian moril dan psikis saja, tetapi fisik juga.”Tapi bagaimana kalau kasus-kasus yang sebenarnya itu suka sama suka. Biasanya korban tidak mempermasalahkan, tetapi ada pihak-pihak luar yang tidak terima sehingga kasus itu mencuat. Jadi kalau kasusnya seperti itu kan objektif, hukuman yang terlalu berat juga dianggap tidak sepadan, jadi kalau kita bicara soal hukum harus ada kepastian hukum dimana sesuatu itu dinilai dengan kriteria yang jelas dan tegas,” ujarnya. (TOMI BUDIANTO-KORAN LINGKAR)