MAKKAH, Lingkar.news – Ibadah haji dilaksanakan melalui beberapa rangkaian kegiatan. Dimulai dari tanggal 8 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Enam hari tersebut disebut juga sebagai puncak ibadah haji atau lazim disebut dengan Armuzna (Arafah, Muzdalifah dan Mina).
Ada beberapa perbedaan rangkaian ibadah haji sesuai dengan keyakinan jemaah. Tetapi perbedaan tersebut tidak pada rukun dan wajib haji, hanya pada kesunahan haji.
Ada jamaah haji yang memulai rangkaian ibadah haji dengan melaksanakan Tarwiyah. Tarwiyah adalah proses menginap di Mina sebelum pelaksanaan wukuf di Arafah.
Kegiatan Tarwiyah ada yang dilaksanakan dengan menggunakan bus dari pemondokan menuju ke Mina, kemudian dari Mina ke Arafah. Tetapi ada pula yang meyakini proses Tarwiyah harus dilaksanakan dengan berjalan kaki mulai dari awal menuju Mina selanjutnya ke Arafah.
Sejak dahulu pemerintahan Indonesia tidak menganjurkan adanya praktik Tarwiyah tersebut. Karena pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama mempunyai pertimbangan jangan sampai proses Tarwiyah mengganggu puncak haji wukuf di Arafah.
Hal ini dikarenakan pada saat puncak haji, jalur lalu lintas sangat macet. Sehingga dikhawatirkan jamaah yang dari Mina menuju Arafah untuk wukuf tidak bisa sampai tepat pada waktunya.
Menurut Sekjen Kemenag Profesor Doktor Nizar Ali dalam sambutannya pada kegiatan pembinaan petugas Kloter Sektor 4 menceritakan, bahwa beberapa tahun yang lalu pernah ada penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) yang melaksanakan program Tarwiyah.
Ternyata PIHK tersebut tidak bisa memberangkatkan jamaah haji dari Mina menuju ke Arafah tepat waktu karena jalannya macet. Obatnya PIHK tersebut harus memberangkatkan kembali jamaah haji yang gagal wukuf di Arafah pada tahun berikutnya. Hal ini membuat PIHK tersebut akhirnya bangkrut.
Kesehatan jamaah haji juga menjadi pertimbangan tersendiri kenapa pemerintah Indonesia tidak menganjurkan Tarwiyah. Banyak jemaah haji yang kecapekan karena harus menginap di Mina sebelum ke Arafah, yang pada akhirnya mereka jatuh sakit.
Tentu saja hal ini akan merepotkan pemerintah maupun jamaah haji itu sendiri. Itulah mengapa pihak PPIH Arab Saudi mewajibkan setiap jamaah menandatangani surat pernyataan bermaterai jika mereka akan melakukan Tarwiyah.
Pernyataan tersebut berisi bahwa jemaah haji akan menanggung sendiri segala risiko Tarwiyah dan tidak menuntut pemerintah apabila ada permasalahan dalam kegiatan Tarwiyah.
Meski demikian, pihak maktab (Muassasah/Perusahaan Arab Saudi yang mengurusi tentang akomodasi jamaah haji selama di Mekah) senantiasa menganjurkan jamaah untuk ikut Tarwiyah.
Hal itu dirasakan oleh para ketua kloter ketika mereka diundang secara khusus oleh pihak maktab. Ya, maktab dengan berbagai rayuan membujuk jamaah agar ikut Tarwiyah. Karena jika jamaah ikut Tarwiyah, maka setiap jamaah akan dikenakan biaya berkisar antara 200 sampai 300 riyal.
Biar maktab akan menyediakan transportasi menuju Mina, tenda menginap, serta konsumsi. Tetapi karena maktab yang mengurusi jamaah haji Indonesia ada banyak, maka kadang-kadang ditemukan maktab yang tidak bertanggung jawab.
Mereka hanya berjanji, tetapi pada kenyataannya sangat tidak sesuai harapan. Mulai dari tenda tempat menginap di Mina sampai dengan konsumsi yang dijanjikan. Kadang-kadang maktab hanya mengejar keuntungan saja tanpa memperhatikan kenyamanan jamaah.
Jadi kegiatan Tarwiyah ini lebih bernuansa bisnis maktab daripada pelayanan dan kepuasan jamaah. Tentu tentu hal ini sangat berkebalikan dengan pemerintah Indonesia yang mana sangat mengutamakan pelayanan dan kepuasan jemaah haji. (Lingkar Network | Ahmad Fahimi – Lingkar.news)