Awal Mula Aset RI di Prancis Terancam Disita Soal Kasus Satelit Kemhan

Awal Mula Aset RI di Prancis Terancam Disita Soal Kasus Satelit Kemhan

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra (kedua kiri), Wamenko Kumham Imipas Otto Hasibuan (kedua kanan) saat konferensi pers usai rapat koordinasi terkait kasus Navayo International AG dengan Kementerian Pertahanan di Kantor Kemenko Kumham Imipas, Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025. (Antara/Lingkar.news)

JAKARTA, Lingkar.news Aset Pemerintah Republik Indonesia di Prancis terancam disita terkait proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kemenko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menjelaskan bahwa masalah tersebut bermula pada 2016 ketika Kementerian Pertahanan menandatangani kontrak dengan pihak swasta asing untuk pengadaan Satkomhan, salah satunya dengan Navayo International AG.

Berdasarkan perjanjian yang diteken, terdapat ketentuan bahwa apabila terjadi sengketa (dispute) akan diputus oleh arbitrase Singapura. Navayo kemudian mengajukan gugatan ke arbitrase Singapura yang putusannya mengharuskan pemerintah Indonesia membayar sejumlah ganti rugi.

Permasalahan terus berlarut-larut hingga pada 2022, perusahaan asal Eropa itu mengajukan permohonan eksekusi sita ke pengadilan Prancis untuk menyita aset pemerintah Indonesia di Paris, Prancis.

“Persoalan ini adalah persoalan yang serius bagi kita karena kita kalah di forum arbitrase negara lain dan kita harus menghormati putusan pengadilan, walaupun kita mengetahui ada aspek-aspek yang kita sebenarnya punya alasan yang kuat juga untuk menghambat pelaksanaan dari putusan pengadilan ini,” ucap Yusril saat konferensi pers usai rapat koordinasi di Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025.

Adapun pada tahun 2024, pengadilan Prancis memberikan wewenang kepada Navayo untuk melakukan penyitaan atas hak dan properti milik pemerintah Indonesia di Paris. Salah satu aset tersebut, kata Yusril, ialah rumah-rumah tinggal pejabat diplomatik RI.

Yusril mengatakan bahwa penyitaan aset suatu negara di luar negeri menyalahi Konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik.

“Itu menyalahi Konvensi Wina untuk pelindungan terhadap aset diplomatik yang tidak boleh disita begitu saja dengan alasan apa pun. Walaupun hal ini sudah dikabulkan oleh pengadilan Prancis, pihak kita tetap akan melakukan upaya-upaya perlawanan untuk menghambat eksekusi ini terjadi,” ucapnya.

Menurut Yusril, upaya untuk menghambat eksekusi penyitaan aset RI di Prancis akan dilakukan dengan cara diplomasi. Ia menyebut akan bertolak ke Paris pada akhir bulan Maret ini untuk menghadiri pertemuan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pertumbuhan Ekonomi (OECD) sekaligus berbicara dengan menteri kehakiman Prancis.

“Masalah ini juga agar menjadi perhatian bagi pemerintah Prancis oleh karena bisa menjadi preseden di seluruh dunia ketika terjadi dispute dengan suatu perusahaan swasta, lantas oleh pengadilan negara tertentu diberikan kesempatan untuk melakukan penyitaan terhadap aset-aset yang sebetulnya dilindungi oleh konvensi tentang aset diplomatik,” imbuhnya.

Pemerintah, terang Yusril, menghormati putusan arbitrase Singapura. Namun, nominal yang dibayarkan akan dibahas lebih detail dan dirundingkan dengan instansi terkait, terutama Kementerian Keuangan.

Sebab, menurut Yusril, sejatinya terdapat aspek pidana terkait persoalan dengan Navayo yang tengah diproses oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pun pihak Navayo diduga melakukan wanprestasi, yakni tidak memenuhi kewajibannya.

“Menurut perhitungan oleh pihak BPKP, pekerjaan yang sudah dilakukan oleh pihak Navayo itu hanya sejumlah Rp1,9 miliar. Jauh sekali dari apa yang diperjanjikan oleh Kementerian Pertahanan dengan mereka. Tapi ketika kita kalah di arbitrase Singapura, kita harus membayar dalam jumlah yang sangat besar,” katanya.

Di dalam negeri, Kejaksaan Agung telah melakukan proses hukum terhadap pihak-pihak yang terkait tindak pidana korupsi dalam pengadaan satelit tersebut. Akan tetapi, pihak Navayo tidak pernah mengindahkan pemanggilan Kejaksaan Agung.

“Pihak Navayo itu sudah berapa kali dipanggil oleh Kejaksaan Agung, tapi tidak kunjung hadir untuk diperiksa sebagai terperiksa maupun ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini,” ujar Yusril.

Yusril menyampaikan berdasarkan hasil rapat koordinasi pada Kamis, 20 Maret 2025, pihaknya akan menyampaikan permasalahan Navayo kepada Presiden Prabowo Subianto.

Selain itu disepakati pula bahwa pihak Navayo akan ditetapkan sebagai tersangka apabila terdapat cukup bukti.

“Dan kita minta kepada Interpol untuk mengejar yang bersangkutan agar ditangkap dan dibawa ke Indonesia untuk diadili dalam kasus korupsi sehingga masalah ini tidak menjadi beban bagi kita. Kalau memang ternyata di balik semua ini ada korupsi, kenapa pemerintah Indonesia harus membayar kompensasi begitu besar kepada pihak Navayo?” tuturnya. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)

Exit mobile version