JAKARTA, Lingkar.news – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly angkat bicara soal anggota Fraksi PKS Iskan Qolba Lubis yang melakukan walk out saat Sidang Paripurna Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Iskan tiba-tiba keluar dari Sidang Paripurna yang digelar di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, karena permintaan Fraksi PKS untuk menghapus sejumlah pasal tak diakomodir.
Yasonna menyentil sikap Fraksi PKS yang tiba-tiba tidak sepakat, tetapi ikut menandatangani beleid KUHP.
“Itu mekanisme demokrasi, jadi itu sah pendapat beliau. Karena PKS sendiri memang sudah menyampaikan pendapat setuju dengan catatan, catatan itu ada menjadi memori, menjadi catatan pembahasan UU ini ada catatannya,” kata Yasonna di Kompleks Parlemen.
Yasonna justru lebih mengapresiasi sikap Partai Demokrat yang konsisten. Demokrat setuju dengan KUHP tapi menyampaikan sejumlah cacatan yang logis.
“Termasuk Demokrat tadi catatannya adalah seperti yang dikatakan itu perlu sosialisasi, perlu kejelasan supaya jangan ada salah tafsir dari penegak hukum nantinya,” ujarnya.
DPR RI dan pemerintah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang. Beleid hukum pidana terbaru ini akan menggantikan KUHP yang merupakan warisan kolonialisme Belanda di Indonesia.
Hampir seluruh fraksi di Komisi III setuju RKUHP disahkan menjadi UU. Hanya PKS yang berkukuh menolak beleid RKUHP tersebut.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus mengatakan sebelum disahkan menjadi Undang-Undang sosialisasi RKUHP sudah berjalan cukup panjang.
“Biarlah ini berjalan. Akan ada sosialisasi lanjutan dan ada proses hukum. Kalau mereka merasa keberatan dan dirugikan dengan diberlakukan Undang-Undang ini, ada proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Lodewijk usai rapat paripurna di Gedung DPR, Jakarta Selasa (6/12).
Menurutnya, untuk membuat keputusan yang memuaskan banyak orang dengan berbagai macam kepentingan tentu sulit. Masyarakat yang keberatan disarankan menempuh jalur hukum, di mana proses tersebut berada di tangan Mahkamah Konstitusi.
Menurut Lodewijk DPR pun akan mengikuti apa pun keputusan MK. Beberapa undang-undang yang DPR dan pemerintah sepakati harus direvisi, kalau itu memang perintah MK. Lodewijk berharap masyarakat bisa memanfaatkan jalur hukum.
“Tapi itu (unjuk rasa) hak teman-teman untuk menyampaikan pendapat. DPR menghargai masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. Selama tidak melanggar aturan, kan tidak ada masalah,” ucapnya.
Ia mengatakan bahwa pengesahan RKUHP diharapkan menjadi tonggak sejarah baru bagi penegakan hukum di Indonesia.
“Mudah-mudahan ini menjadi tonggak sejarah baru bagi Indonesia untuk penegakan hukum di Indonesia,” katanya.
Lodewijk menyebut hal tersebut karena Indonesia akhirnya berhasil menanggalkan kitab hukum pidana warisan kolonial dan menggantinya dengan yang baru.
“Dengan diundang-undangkannya Undang-Undang Kitab Hukum Pidana RI itu kita punya undang-undang yang baru berdasarkan kondisi ke-Indonesiaan,” ujarnya.
Dia pun menyebut bahwa proses penyusunan RKHUP menjadi undang-undang sendiri sudah berjalan cukup panjang yakni selama 59 tahun lamanya.
“Perjalanan panjang, ya kita tahu mungkin sudah tujuh presiden yang melewati ini, kemudian ada 13 Menteri Hukum dan HAM yang menangani ini, termasuk sudah ada yang meninggal Prof. Muladi, tentunya kita mengucapkan terima kasih atas upaya-upaya yang telah dilakukan,” tambahnya.
Lodewijk juga menyebut pimpinan DPR belum akan menyambangi masyarakat yang melakukan unjuk rasa terhadap pengesahan RKUHP. Sebaliknya, ia mengimbau masyarakat yang masih belum puas terhadap rancangan KUHP baru tersebut untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.“Sementara tidak karena kami sudah sahkan, biar selanjutnya ini berproses. Kalau memang ada ketidakpuasan tentunya ada langkah-langkah hukum yang bisa diambil, katakan ke Mahkamah Konstitusi,” pungkasnya. (Koran Lingkar – Lingkar.news)