JAKARTA, Lingkar.news – Banyak pihak memprotes tingginya biaya pendidikan perguruan tinggi menyusul pernyataan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) terdapat penambahan kelompok uang kuliah tunggal (UKT).
Seperti disampaikan Gerakan Komunitas Aktivis Milenial Indonesia (Gen KAMI) yang meminta pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan biaya UKT yang wajib dibayarkan mahasiswa setiap semesternya.
Gen KAMI juga meminta Presiden Joko Widodo memerintahkan Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk segera membatalkan kenaikan UKT serta mengevaluasi secara menyeluruh operasional perguruan tinggi negeri.
“Jangan sampai desentralisasi kampus justru semakin menonjolkan komersialisasinya, apalagi kalau sampai mengorbankan mahasiswa,” kata dia.
Sementara itu Kemendikbudristek menegaskan perguruan tinggi negeri (PTN) memiliki otonom untuk menetapkan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT), namun harus tetap memperhatikan batasan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie,
menyatakan penetapan besaran UKT tetap ada batasannya, yaitu untuk UKT kelompok paling tinggi maksimal sama dengan besaran Biaya Kuliah Tunggal (BKT).
“Penetapan besaran UKT tetap ada batasannya yaitu untuk UKT kelompok paling tinggi maksimal sama dengan besaran BKT,” ujarnya, Kamis, 16 Mei 2024.
Tjitjik mengatakan perguruan tinggi memang memiliki kewenangan otonom untuk menetapkan besaran UKT golongan tiga dan seterusnya, sedangkan untuk golongan satu dan dua sudah ditetapkan pemerintah.
Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 2012 tentang pendidikan Tinggi mengamanatkan bahwa pemerintah perlu menetapkan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT).
SSBOPT merupakan acuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang secara periodik diriviu dengan mempertimbangkan capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah.
SSBOPT tersebut menjadi dasar pengalokasian Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan penetapan BKT dengan BKT sendiri adalah dasar penetapan UKT untuk setiap program studi diploma dan sarjana.
Namun saat ini, kata Tjitjik, intervensi pemerintah melalui BOPTN baru bisa menutup sekitar tiga puluh persen biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Pada sisi lain, Tjitjik menjelaskan permasalahan terjadi karena kampus memberikan lompatan biaya UKT sangat besar yang biasanya terjadi mulai dari UKT golongan empat ke lima dan seterusnya dengan besaran lima sampai 10 persen.
Hal itu pada akhirnya menjadi polemik hingga terjadi gelombang demonstrasi mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) beberapa waktu belakangan ini di sejumlah daerah.
Ia pun memastikan saat ini pihaknya terus berkoordinasi dengan para pimpinan PTN agar penyesuaian UKT tidak melebihi batas standar pembiayaan yang telah ditentukan.
“Ini harus sesuai aturan yang berlaku. PTN juga harus terus melakukan sosialisasi terkait UKT kepada para pemangku kepentingan masing-masing,” kata Tjitjik. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)