Kemenkumham Tegaskan “Kumpul Kebo” bisa Ditindak Berdasar KUHP Baru

Kemenkumham Tegaskan "Kumpul Kebo" bisa Ditindak Berdasar KUHP Baru

Direktur Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra. (ANTARA/HO Kemenkumham)

Bandung, Lingkar.news – Direktur Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra, menyatakan bahwa Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang baru mengatur lebih tegas lagi mengenai kohabitasi/perselingkuhan dan perzinahan.

“Bagi pasangan yang belum menikah perlu memahami bahwa dalam KUHP baru, kohabitasi juga memiliki konsekuensi hukum,” kata Dhahana saat menyoroti maraknya kasus perselingkuhan yang ramai di media sosial, dalam keterangan yang diterima di Bandung, Senin (29/7).

Dhahana menjelaskan bahwa kohabitasi dalam KUHP yang baru, didefinisikan sebagai hidup bersama selayaknya suami istri di luar pernikahan, yang artinya ini juga mencakup pasangan yang tinggal bersama dan berperilaku seperti suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah menurut hukum, praktik kohabitasi ini dalam masyarakat lebih dikenal dengan istilah “kumpul kebo”.

Sementara itu, perzinahan dalam KUHP baru, sama seperti KUHP lama tetap dipandang sebagai suatu tindak pidana, dengan merujuk pada pasal 411 dalam KUHP yang baru, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya akan dikenai pidana perzinahan.

“Pasal ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menegakkan norma kesusilaan dalam masyarakat,” ujar Dhahana.

Kendati demikian, Dhahana menerangkan bahwa baik kohabitasi maupun perzinahan merupakan delik aduan terbatas. Dengan begitu, tindakan kohabitasi dan perzinahan sebagaimana diatur dalam pasal 411 dan pasal 412 hanya dapat diproses secara hukum jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

“Pengaduan harus berasal dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut, tanpa adanya pengaduan resmi dari pihak-pihak terkait tindakan tidak dapat diproses oleh aparat penegak hukum,” ucap Dhahana.

Selanjutnya, Dhahana membeberkan sejak awal pembahasan KUHP baru, topik terkait kohabitasi dan perzinahan memang cukup memantik polemik di ruang publik.

“Ada pihak yang menuntut agar tindakan semacam itu diberikan hukuman karena tidak sesuai nilai-nilai sosial dan keagamaan, di sisi lain ada pihak yang menolak negara untuk mengatur hal tersebut karena dipandang telah mencampuri urusan privat, nah KUHP berupaya mencari titik keseimbangan,” ucapnya.

Pengaturan ini, tambah dia, penting dalam konteks hak asasi manusia (HAM), karena negara harus menjaga keseimbangan antara menghormati hak-hak individu dan menegakkan norma-norma sosial yang dianut oleh masyarakat.

Setiap regulasi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kebebasan pribadi sambil memastikan tidak melanggar hak-hak dasar warga negara, hak dasar menurut UU 39 tahun 1999 tentang HAM, di antaranya berhak membangun sebuah keluarga tanpa ada tekanan, serta berhak memiliki keturunan lewat perkawinan yang sah.

Kendati masih ada diskursus mengenai topik ini di dalam KUHP, namun Dhahana meyakini tim penyusun KUHP telah menimbang dengan matang dari berbagai perspektif dan keilmuan.

“Pengaturan Kohabitasi dan perzinahan dalam KUHP ini, diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara hak individu dan norma sosial yang masih dipegang oleh khalayak di tanah air. Kembali, kami mengimbau masyarakat dapat memahami aturan dengan baik sehingga dapat menghindari konsekuensi hukum sebagaimana diatur di dalam KUHP baru ini,” tuturnya. (rara-lingkar.news)

Exit mobile version