JOGJA, LINGKAR – Di utara Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Hutan Wonosadi menjadi saksi bisu dedikasi seorang perempuan bernama Sri Hartini (56). Setiap hari, ia melangkah ke hutan yang terletak sekitar 300 meter dari rumahnya di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen. Meskipun usianya telah memasuki setengah abad lebih, semangat Sri tak pernah surut dalam menjaga kelestarian hutan ini, yang telah ia rawat dengan penuh cinta selama belasan tahun.
Pagi itu, meski kakinya terasa nyeri, Sri tetap bergegas setelah mengenakan jilbab dan sepatu slop hitamnya. Ia mengambil sapu lidi yang tersandar di depan rumah, lalu berjalan menuju hutan sebelum matahari terlalu tinggi. Sesampainya di hutan, ia memulai aktivitas rutinnya—menyapu daun-daun kering yang berserakan di sepanjang 400 anak tangga menuju ke dalam hutan. Suara gesekan sapu lidi dengan daun bambu kering memecah keheningan hutan yang biasanya hanya diisi oleh kicauan burung dan hembusan angin.
Selain membersihkan hutan, Sri juga waspada terhadap potensi pencurian kayu. Di sela-sela menyapu, ia sesekali melemparkan pandangan ke segala penjuru, memastikan tidak ada aktivitas ilegal yang merusak hutan. Daun-daun kering yang ia kumpulkan kemudian ditimbun di bawah pohon, membiarkannya membusuk menjadi pupuk alami yang memberi nutrisi bagi tumbuhan di sekitarnya.
Hutan Wonosadi tidak hanya menjadi sumber kehidupan bagi flora dan fauna, tetapi juga bagi ratusan kepala keluarga (KK) di Dusun Duren dan Sidorejo yang mengandalkan tiga mata air—Kalas, Pok Blembem, dan Rasah—yang terus mengalir bahkan di musim kemarau. Air dari mata air ini disalurkan ke rumah-rumah warga melalui pipa-pipa besi yang menghubungkan aliran dari sumber mata air ke sebuah bak penampung besar. Dari penampungan tersebut, air didistribusikan ke lebih dari 200 KK di dua dusun tersebut, memastikan ketersediaan air yang terus terjaga sepanjang tahun.
Keberlanjutan mata air ini tidak lepas dari upaya Sri Hartini dan keluarganya, terutama ayahnya, Sudiyo, yang memulai inisiatif penghijauan hutan di tahun 1965-1966. Pada masa itu, Hutan Wonosadi mengalami kerusakan parah akibat pembalakan liar yang dilakukan oleh sekelompok orang tak bertanggung jawab. Hutan nyaris gundul, menyisakan hanya empat pohon asam jawa di antara tanah yang tandus dan berbatu. Melihat kondisi yang memprihatinkan ini, Sudiyo memutuskan untuk mulai menanam pohon secara mandiri, meski tanpa dukungan dari warga sekitar.
Sudiyo tetap teguh dalam usahanya, bahkan ketika upayanya ditertawakan oleh orang-orang di sekitarnya. Keteguhan hati Sudiyo akhirnya membuahkan hasil. Secara perlahan, hutan yang gundul mulai kembali menghijau, dan mata air yang sempat menghilang pun kembali mengalir. Warga setempat, yang awalnya skeptis, mulai menyadari pentingnya menjaga hutan dan turut serta dalam upaya pelestarian. Berkat perjuangannya, pada tahun 2009, Sudiyo dianugerahi penghargaan oleh Menteri Kehutanan era Kabinet Indonesia Bersatu, M.S Kaban, yang memberinya kesempatan untuk menunaikan ibadah umrah.
Setelah dewasa, Sri Hartini melanjutkan perjuangan ayahnya. Ia kini memimpin kelompok Jagawana, yang terdiri dari 25 anggota, termasuk dirinya. Sebagai satu-satunya perempuan dalam kelompok ini, Sri dipercaya untuk memimpin karena dianggap sebagai penerus estafet perjuangan ayahnya. Jagawana tidak hanya menjaga kelestarian hutan, tetapi juga berperan sebagai pemandu bagi para peneliti atau mahasiswa yang datang untuk mempelajari kekayaan flora dan fauna di Hutan Wonosadi.
Hutan Adat Wonosadi memiliki luas total 25 hektare, dengan lima hektare di antaranya dijadikan Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun 2012. Di area ini, Sri dan anggota Jagawana menanam berbagai jenis tanaman buah yang diperuntukkan sebagai makanan bagi satwa liar yang hidup di hutan ini. Hutan ini menjadi rumah bagi berbagai spesies satwa liar, seperti kera ekor panjang, biawak, ular, reptil, dan berbagai jenis burung, termasuk burung elang berontok, burung pelatuk bawang, burung bubut, hingga kakatua. Selain itu, di hutan ini juga tumbuh subur berbagai tanaman obat dan bunga, termasuk spesies langka seperti jamblang (Eugenia cumini), kepuh (Sterculia foetida), huru sintok (Cinnamomum sintoc), pulai (Alstonia scholaris), dan wuni (Antidesma bunius).
Keberadaan Hutan Wonosadi tidak bisa dipisahkan dari adat dan budaya lokal yang terus dijaga oleh warga. Setiap tahun, warga mengadakan upacara adat Sadranan di Lembah Ngenuman yang terletak di tengah hutan. Sadranan merupakan bentuk napak tilas leluhur warga setempat, khususnya Ki Onggoloco, yang dipercaya sebagai penguasa hutan Wonosadi. Upacara ini juga menjadi wujud syukur kepada Tuhan atas karunia hasil panen. Warga setempat percaya bahwa hutan ini dilindungi oleh leluhur, sehingga setiap tindakan merusak hutan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum adat yang tak tertulis, yang bisa mendatangkan malapetaka.
Selain Sadranan, di hutan ini juga berkembang kesenian tradisional Rinding Gumbeng, yang merupakan seperangkat alat musik tradisional terbuat dari bambu. Alat musik ini selalu dimainkan dalam upacara adat, termasuk saat Sadranan. Di rumah Sri, terdapat sebuah sanggar kecil tempat warga berlatih memainkan alat musik ini. Pada tahun 2022, grup kesenian Rinding Gumbeng dari Dusun Duren diundang oleh Presiden Joko Widodo untuk tampil dalam upacara HUT Kemerdekaan RI di Istana Negara.
Sri menyadari bahwa upaya menjaga kelestarian hutan dan adat istiadat ini harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Oleh karena itu, ia dan anggota Jagawana lainnya kini tengah melakukan regenerasi dengan membentuk kelompok Satrio Bumi, yang terdiri dari anak-anak muda. Ia berharap bahwa warisan yang telah dijaga dengan susah payah ini tidak akan hilang, dan bahwa pesan ayahnya, Sudiyo, untuk tidak meninggalkan air mata tetapi mewariskan mata air, akan terus hidup di dalam hati generasi selanjutnya. (RARA – LINGKAR)