DEMAK, Lingkar.news – Kabupaten Demak yang dikenal sebagai Kota Wali memiliki beragam budaya dan tradisi yang hingga kini masih dilestarikan. Salah satunya tradisi nasi ancakan yang disajikan pada malam menjelang hari raya Idul Adha atau setiap 10 Dzulhijjah.
Nasi Ancakan berisikan nasi yang diurap dengan daging ayam dan ikan asin, disajikan dengan alas daun jati serta alas bambu kemudian diletakkan berjejer di lantai Pendopo Notobratan. Kemudian Sesepuh Kadilangu membacakan doa, baru kemudian nasi ancakan dipersilakan dinikmati masyarakat. Biasanya masyarakat menunggu momen tersebut dan warga saling berebut mendapatkan nasi ancakan.
Ratusan masyarakat sangat antusias mengikuti tradisi tersebut, bahkan rela berebut untuk mendapatkan nasi ancakan yang dipercayai mengandung berkah.
Seperti halnya warga Brangkal, Sidomulyo, Kecamatan Wonosalam, Sri Murtidah (55), dirinya datang bersama suami dan anaknya lebih awal dengan harapan dapat nasi ancakan.
“Tahu, ‘kan ini tradisi setiap tahun ada. Datang ke sini habis maghrib, tapi datang langsung ke sini baru tahun ini,” ujar Sri usai ikut berebut nasi ancakan, Minggu, 16 Juni 2024.
Menurutnya, nasi ancakan tersebut banyak keberkahannya sehingga dirinya tidak kaget kalau diperebutkan oleh banyak masyarakat
“Ini tadi ikut rebutan dapat nasi sama bambunya. Biasanya ini buat tolak balak, bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Nasinya untuk dimakan, biar dapat berkahnya, kalau nasinya banyak itu biasanya ada yang dijemur untuk dibawa ke sawah. Kalau untuk bambunya untuk ditancepin di sawah biar tidak ada hama gitu,” bebernya.
Sementara itu, Sesepuh Raden Muhammad Cahyo Iman Santoso mengisahkan bahwa nasi dengan urapan daging dan ikan asin tersebut merupakan menu dan bentuk penyajian buka puasa Sunan Kalijaga bersama masyarakat saat puasa Arafah.
“Eyang Sunan itu selalu Puasa Arofah jelang Idul Adha. Pada saat puasa Arafah beliau berbuka bersama masyarakat, sebelum buka terlebih dahulu didoakan. Nah, itu yang kita lakukan sampai sekarang,” kisahnya.
“Nah Bambu-bambunya itu ditaruh di sawah, supaya sawahnya subur, tidak kena hama, panennya bagus. Bagi yang punya warung/toko ditaruh ditokonya, ini bukan syirik, ini barokah dari eyang. Nah simbol perwujudan dari eyang,” sambungnya.
Pak sepuh juga menambahkan bahwa tradisi ancakan tersebut merupakan tradisi yang digelar setiap tahun sekali di malam Idul Adha.
“Ini biasanya 350, nah ini Ibu Bupati dan Dinas Pariwisata meminta untuk penyajiannya disamakan dengan usia Kabupaten Demak yaitu 521 dan juga telah dicatatkan ke Rekor Muri,” pungkasnya.
Di sisi lain, Bupati Demak Eisti’anah menyampaikan bahwa Pemerintah Kabupaten Demak terus berkomitmen untuk bersinergi dan berkolaborasi dengan pihak Kadilangu untuk melestarikan tradisi nasi ancakan.
“Ancakan ini biasanya dilakukan oleh Keluarga Besar Kadilangu. Di tahun ini kita bersinergi dan berkolaborasi datang langsung ke Pendopo Notobratan yang biasanya ancakan ini hanya sekitar 300 sajian. Akan tetapi ditahun ini kita berinovasi dengan menyiapkan sebanyak 521 Ancakan yang melambangkan usia Kabupaten Demak,” terang Esiti’anah.
Eisti’anah menerangkan tradisi ancakan merupakan peninggalan Sunan Kalijaga yang harus dilestarikan. Tradisi tersebut sekaligus sebagai simbol bersedekah kepada masyarakat.
“Kita harapkan dengan berbagi ini membuat keberkahan bagi masyarakat, berkah bagi Kabupaten dan bagi semuanya untuk lebih baik lagi kedepanya seperti mengulang Kerjaan Demak di masa lalu,” terangnya.
Sebagai informasi, Tradisi Ancakan Kadilangu Demak juga dicatatkan ke Rekor Muri sebagai Nasi Ancakan terbanyak yakni berjumlah 521 yang menandai usia Kabupaten Demak pada tahun 2024. (Lingkar Network | M. Burhanuddin Aslam – Lingkar.news)