DEMAK, Lingkar.news – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Demak melalui Kasepuhan Kadilangu rutin menggelar ritual jamas pusaka peninggalan Sunan Kalijaga yakni Keris Kiai Cerubuk dan Kiai Kotang Ontokusumo.
Pada Sabtu, 15 Juni 2024 sebelum ritual jamas pusaka berlangsung, Kasepuhan Kadilangu mendapatkan kiriman kiriman minyak jamas beserta ubo rampe dari Keraton Surakarta.
Pengageng Parentah Keraton Surakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Dipokusumo, sebagai utusan Ndalem Sinoewoen Soesoehoenan Pakoeboewono XIII datang ke Kadilangu Demak untuk menyerahkan minyak jamas yang nantinya akan digunakan dalam penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga.
Rombongan dari Keraton Surakarta membawa minyak jamas serta ubo rampe menuju Pendopo Notobratan Kadilangu dikawal oleh prajurit patangpuluhan sekaligus ada tiga gunungan yang mengiringi dari belakang.
“Penyerahan abon-abon (minyak jamas dan ubo rampe) kepada Kasepuhan Kadilangu ini berkaitan yaitu makna daripada peran Kanjeng Sunan Kalijaga dalam syiar Agama Islam yang juga berkaitan filosofi simbol di Jawa,” ujar Gusti Dipo, usai prosesi penyerahan.
Gusti Dipo menilai Sunan Kalijaga sangat berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Tanah Jawa, sekaligus berjasa bagi Kesultanan Mataram.
“Simbol-simbol yang diterapkan di dalam ajaran Sunan Kalijaga, mengenai barang, tempat, wujud, fisik yang semuanya itu bernilai islami. Sebagaimana kita ketahui, Sunan Kalijaga itu Islam tapi Njawani, atau mengajarkan agama Islam dengan tradisi dan tata carayang kemudian dimaknai dengan nilai-nilai Islam,“ tuturnya.
Gusti Dipo menjelaskan bahwa minyak jamas yang diserahkan kepada Kasepuhan Kadilangu Demak merupakan minyak yang dibuat melalui syarat dan ritual khusus.
“Lisah (minyak) itu diambil dari pohon kelapa yang tumbuh di Masjid Agung Surakarta, yang diambil buah yang ada disebelah barat agak ke utara. Jadi maknanya bahwa dalam syiar islam itu kaitannya dengan arah kiblat atau ke Ka’bah,” jelasnya.
Disamping itu, Gusti Dipo menerangkan makna filosofis dari gunungan hasil bumi yang diarak menuju Pendopo Notobratan, Kadilangu.
“Gunungan itu makna simbolis daripada kehidupan bahwa kehidupan itu memiliki asal muasal, berupa pala kependhem, pala kesampar dan polo gemantung. Tiga hal itu yang dijadikan pedoman kalau dalam Bahasa Jawa itu sangkan paraning dumadhi, dumadhining sangkaran atau mengingatkan seorang manusia tentang dari mana ia berasal dan ke mana dia akan kembali,” terangnya.
Sementara itu, Sesepuh Kadilangu, Raden Muhammad Cahyo Iman Santoso, menyampaikan bahwa acara abon-abon tersebut rutin dilakukan setiap tahun.
“Acara ini yang memang rutin setiap tahun, mereka datang bawa ubo rampe, itu ada minyak dan lain-lain yang nantinya kita campur dengan minyak kita saat penjamasan pusaka,” katanya.
Ditanya soal mengapa Keraton Solo mengirimkan abon-abon berupa ubo rampe, minyak jamas dan lain sebagainya, lantaran Suna Kalijaga merupakan penasehat tertua dari Kearaton Surakarta atau Solo.
“Eyang Sunan Kalijaga lebih tua, maka mereka datang kesini,” ujarnya.
Disisi lain, Bupati Demak, Eisti’anah, menyampaikan bahwa ritual jamas pusaka tersebut merupakan salah satu puncak dari rangkaian Grebeg Besar Demak, biasanya dilangsungkan bertepatan pada Hari Raya Idul Adha. Pihaknya juga berkomitmen mendukung tradisi budaya yang ada di Kbaupaten Demak.
“Tentunya kami dari Pemerintah Kabupaten Demak bersatu dan ini baru dilaksanakan dua tahun ini. Biasanya memang dari Kadilangu bersama Kasultanan Surakarta sendiri, tetapi ini suatu sinergi, koordinasi yang baik, Insyaallah kita akan laksanakan di tahun-tahun berikutnya,” ujar Bupati Eisti’anah. (Lingkar Network – M. Burhanuddin Aslam – Lingkar.news)