PATI, LINGKAR – Sekitar ratusan truk dump dengan membawa sound horeg memblokade akses jalan Alun-Alun Simpang Lima Pati pada pukul 09.25, Rabu (25/9). Berbagai spanduk pun dibentangkan, seperti bertuliskan “Negara Agraris Petani Miris”.
Aksi tersebut sempat memanas dan terjadi adu mulut antara sopir truk dump dengan aparat kepolisian sekira pukul 11.00 WIB, di mana sopir truk dump diminta membuka blokade jalan di depan Gedung DPRD Pati, Jawa Tengah. Meski ada sedikit cekcok, namun akhirnya sopir menuruti perintah kepolisian.
Ratusan sopir truk dump yang mengatasnamakan Gerakan Masyarakat Peduli Pertanian (GMPP) menuntut agar diperbolehkan untuk mengeruk lahan pertanian yang berada di wilayah Pati bagian selatan.
“Selama ini armada kami diganggu. Kami meminta untuk armada yang ditahan supaya dilepaskan. Kami menuntut untuk bisa kembali bekerja menata lahan pertanian menggunakan alat berat. Karena kami selalu ketakutan karena ada sweeping-sweeping pada pengerukan lahan,” ujar Koordinator Gerakan Masyarakat Peduli Pertanian (GMPP) Sutirto.
Selain itu, pihaknya juga menuntut pembebasan empat armada truk dump yang ditahan oleh Aparat Penegak Hukum (APH).
“Sudah lima hari ada empat armada yang ditahan, jadi kami menuntut untuk segera dibebaskan,” tegas Sutirto yang juga merupakan petani dari Desa Slungkep, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati.
Lebih lanjut, Sutirto menjelaskan bahwa penataan lahan pertanian dilakukan karena kondisi sawah petani di kawasan Pati bagian selatan lebih rendah dibanding irigasi sehingga menjadikannya kekurangan air.
“Problematika petani adalah lahannya tinggi dan irigasinya rendah sehingga air tidak bisa langsung ke lahan. Solusinya adalah adanya pengeprasan (penggalian) menggunakan alat berat supaya lebih cepat dan tepat. Jadi untuk memindahkan tanah galian itu menggunakan truk,” jelasnya.
Oleh karena itu, Sutirto menilai bahwa penataan lahan ini tidak perlu menggunakan Izin Usaha Pertambangan (IUP), walaupun tanah hasil pengerukan diangkut menggunakan truk dump.
“Itu tidak pakai IUP, karena apa? Hanya dalam waktu 7 hari sampai 10 hari maksimal bahkan tidak ada, masa pakai IUP. Maka kami menuntut untuk diberi keleluasaan untuk menggarap lahan. Massa sekitar 1.000, armada (dump truck) 100-an,” imbuhnya.
Sutirto mengancam jika tuntutan sopir truk dump tidak dikabulkan maka pihaknya akan dilakukan aksi kembali.
“Maka pada pagi ini kita melakukan aksi damai supaya pemangku kebijakan di kabupaten mendengar keluh kesah kami. Jika tuntutan tidak dikabulkan akan mengadakan aksi lagi, karena kita untuk mencari nafkah, bukan kekayaan,” imbuhnya.
Menanggapi aspirasi tersebut, Ketua Sementara DPRD Pati Ali Badrudin usai audiensi dengan perwakilan GMPP menjelaskan pengerukan tanah terkendala regulasi Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba).
“Akan tetapi ketika dilakukan pengerukan ini terkendala dengan regulasi yang mana menurut Undang-Undang Minerba tidak dibolehkan,” ucap Ali.
Ia mengatakan solusi yang diberikan terkait penataan lahan sawah diperbolehkan asal tidak dijual dan masih dalam satu lokasi.
“Kalau untuk penataan diperbolehkan tetapi tidak keluar ke mana-mana. Kalau kelebihan banyak hanya digeser justru akan menjadi beban di lokasi tersebut, mau tidak mau harus dikeluarkan. Bisa dikeluarkan satu desa itu,” jelasnya.
Selain itu, menurut dia, DPRD Jawa Tengah (Jateng) sedang membahas RUU tentang Penataan Lahan. Dengan demikian, apabila ada aturannya maka DPRD Pati pun meniru regulasi yang mengatur penataan lahan.
“Mudah-mudahan terkait dengan perda penataan lahan nanti akan benar terealisasi, di provinsi butuh perda penataan lahan, maka di Kabupaten Pati harus bisa, harus meniru pasti ada regulasi yang mempayungi,” tuturnya. (IKA TAMARA – LINGKAR)
ESDM Jateng: Tanah Bisa Dijual tapi Harus Izin Dispertan
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) wilayah Kendeng-Muria Dwi Suryono menegaskan bahwa penataan lahan pertanian yang dilakukan oleh petani dengan mengeruk lahan, tidak diperkenankan untuk mengangkut tanah tersebut keluar wilayah pertanian.
Statemen tersebut disampaikan setelah ratusan petani yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Pertanian (GMPP) melakukan aksi unjuk rasa pada Rabu (25/9) buntut satu alat berat dan lima truk dump disita polisi akibat mengangkut tanah persawahan ke tempat lain.
Menurut Dwi tindakan yang dilakukan petani dengan mengeruk tanah pertanian dengan alasan penataan lahan menyalahi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Sebab meskipun dengan alasan penataan lahan, akan tetapi material tanah kerukan lantas dijual, sehingga menyalahi aturan.
Lanjut Dwi, beda halnya jika penataan lahan tersebut dilakukan dengan tidak memindahkan material tanah ke tempat lain, maka disebut tidak menyalahi aturan.
“Soal regulasi penataan lahan izin yang ditetapkan UU Nomor 3/2020 pasal 35 ayat 3. Kalau memang sifatnya penataan material tidak dikeluarkan itu tidak apa-apa, tidak boleh keluar,” kata Dwi di depan puluhan petani dan juga Ketua DPRD Pati Ali Badrudin.
Jika tuntutan para petani yang berdemonstrasi dikabulkan, maka pihaknya harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan instansi yang bersangkutan, dalam hal ini adalah Dinas Pertanian.“Bisa juga dijual (diangkut keluar), tetapi harus izin melalui dinas terkait yaitu Dispertan,” tegasnya. (ARIF/NAI – LINGKAR)