SEMARANG, Lingkar.news – Ribuan buruh dari dua anak perusahaan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Kota Semarang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dua anak perusahaan tersebut adalah PT Sinar Pantja Djaja dan PT Bitratex Industries.
Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jawa Tengah, Aulia Hakim, mengungkapkan bahwa berdasarkan data yang diterimanya, saat ini terdapat 340 buruh PT Sinar Pantja Djaja dan 687 buruh PT Bitratex Industries yang terkena PHK.
“Data dari dinas terkait menunjukkan bahwa jumlah PHK di Bitratex mencapai 687 orang dan di Pantja Djaja 340 orang,” ungkap Aulia, Senin, 4 November 2024.
Menurutnya, belasan ribu buruh lainnya di PT Sritex kini merasakan kegelisahan atas masa depan pekerjaan mereka. Hal ini lantaran perusahaan tekstil besar di Asia Tenggara tersebut baru saja dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.
“Jika anak-anak perusahaannya saja sudah terkena PHK, saya khawatir sekitar 11 ribu buruh di Sukoharjo yang saat ini masih bekerja tidak memiliki jaminan aman dari PHK,” tambah Ketua Partai Buruh Jawa Tengah tersebut.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Tengah, Ahmad Aziz, menyatakan bahwa PHK di PT Sinar Pantja Djaja sebagian terjadi sejak Agustus 2024, dengan alasan utama penurunan pesanan.
“PHK terjadi sekitar bulan Agustus, dan salah satu penyebabnya adalah penurunan order. Sebelumnya, sejumlah karyawan juga sudah dirumahkan,” ujarnya.
Terkait pesangon bagi karyawan yang di-PHK, baik di PT Sinar Pantja Djaja maupun PT Bitratex Industries, Ahmad Aziz, mengaku belum memiliki informasi yang rinci.
“Saat ini proses negosiasi masih berlangsung antara pihak manajemen dan serikat pekerja. Kami belum tahu apakah sudah ada kesepakatan atau belum,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa perundingan bipartit menjadi kewenangan Disnakertrans Kota Semarang, kecuali jika diperlukan mediasi.
Puan Minta Pemerintah prioritaskan Perlindungan Karyawan Sritex dari PHK
Sementara itu, Koordinator Karyawan Sritex Grup, Kaswanto, mengungkapkan bahwa PHK di PT Bitratex Industries melibatkan sekitar 200 karyawan sejak Januari 2024. Menurutnya, penurunan pasar tekstil menjadi alasan utama PHK.
“Pasar tekstil sedang menurun, dan Bitratex sebagai bagian dari Sritex juga terkena dampaknya. Namun, hak-hak karyawan yang terkena PHK telah dipenuhi,” jelas Kaswanto.
Dia menegaskan bahwa angka PHK yang mencapai enam ratusan tidak sepenuhnya akurat.
“Jika dihitung sejak awal pandemi pada 2020 hingga Januari 2024, memang ada sekitar 600 karyawan, tetapi PHK pada Januari 2024 hanya melibatkan 200 orang,” katanya.
Kaswanto menyampaikan pihak manajemen PT Sritex saat ini sedang mengajukan kasasi terkait putusan pailit atas PT Sinar Pantja Djaja dan PT Bitratex Industries.
“Manajemen telah mengajukan kasasi, dan kami berharap putusan pailit tersebut dibatalkan. Sebagai buruh, kami berharap bisa tetap bekerja, karena jika terjadi pailit, kurator akan mengambil alih aset dan tidak memikirkan kelangsungan hidup pekerja,” tutupnya.
Opsi Pemberian dana Talangan Perlu Kehati-hatian
Pemerintah tengah mempertimbangkan berbagai langkah untuk menyelamatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Di antara opsi yang muncul adalah pemberian dana talangan atau membuka kran ekspor-impor lebih leluasa bagi Sritex untuk membantu pemulihan kinerja keuangannya.
Pengamat Ekonomi dari Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang, Tri Widayati, menilai pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil keputusan ini, mengingat dampaknya yang luas terhadap perekonomian dan kehidupan ribuan tenaga kerja yang bergantung pada perusahaan tersebut.
“Data menunjukkan bahwa ada sekitar 50.000 pekerja yang terdampak langsung jika Sritex dinyatakan bangkrut atau ditutup. Angka ini sangat signifikan dan bisa menimbulkan efek domino yang besar di sektor ekonomi lokal dan nasional,” ujar Tri saat dihubungi, Minggu, 3 November 2024.
Menurut Tri, Presiden Prabowo Subianto juga turut memantau situasi ini dan tengah melakukan kajian mendalam. Ia menyadari bahwa jumlah dana yang diperlukan untuk menyelamatkan Sritex tidak kecil, dan setiap keputusan akan berdampak besar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Baru saja Pak Prabowo dilantik, sudah ada tantangan seperti ini. Sementara, masalah APBN saja sudah rumit, apalagi jika harus menambah alokasi untuk menyelamatkan Sritex,” ungkapnya.
Lebih jauh, Tri menjelaskan bahwa presiden sedang mempertimbangkan kemungkinan skema dana talangan. Namun, pemberian dana talangan untuk satu perusahaan bisa memunculkan kecemburuan di kalangan industri lain.
“Tidak hanya Sritex, ada pabrik-pabrik lain yang mungkin akan menuntut perlakuan yang sama. Ini menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah. Saat ini, beberapa menteri terkait, seperti Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Menteri Tenaga Kerja, dan Menteri Perindustrian, sedang mengkaji opsi-opsi yang ada,” tambahnya.
Tri juga menekankan bahwa dana talangan tetap perlu disiapkan sebagai salah satu upaya penyelamatan, mengingat jumlah tenaga kerja yang bergantung pada kelangsungan Sritex.
“Dampaknya tidak bisa diabaikan begitu saja, karena menyangkut hajat hidup banyak orang,” jelasnya.
Selain opsi dana talangan, Tri menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan pelonggaran ekspor-impor sebagai langkah lain untuk mendukung Sritex.
“Sritex masih memiliki pesanan dari luar negeri. Jika kran ekspor-impor dibuka lebih luas, Sritex diharapkan dapat terus beroperasi dan, sedikit demi sedikit, mengatasi masalah keuangan yang dihadapinya,” ujarnya. Keputusan yang akan diambil pemerintah untuk menyelamatkan Sritex ini akan menjadi tolok ukur dalam kebijakan ekonomi nasional di masa mendatang.