MAKKAH, Lingkar.news – Memang tak akan pernah habis mengupas kisah keseharian orang Indonesia di tanah suci. Kadang penuh dengan keharuan, kegembiraan, kesedihan, kelucuan, juga terkadang juga kekonyolan.
Memang kehidupan di Indonesia dan di Arab Saudi jauh berbeda. Perbedaan budaya dan bahasa menjadi faktor penghambat jamaah haji Indonesia untuk beradaptasi. Meski demikian, hal itu tidak mengurangi aktivitas jamaah haji Indonesia, baik ketika beribadah, berjalan-jalan, belanja, maupun melakukan aktivitas sehari-hari selama berada di tanah suci.
Jamaah haji Indonesia dengan segala keterbatasannya telah meninggalkan cerita-cerita lucu dan konyol. Salah satu cerita lucu adalah ketika seseorang mukimin yang ditemui penulis bercerita perihal asal mula kata unta.
Kang Parmin, sebut saja begitu, menceritakan bahwa dahulu ada jamaah haji Indonesia yang terheran-heran melihat binatang unta.
Ia pun bertanya kepada orang Arab yang berada di dekat situ. “Itu binatang apa Tuan?” tanya jemaah haji Indonesia tersebut kepada orang Arab.
Tentu saja yang ditanya terheran-heran karena tidak mengerti bahasanya. Akhirnya orang Arab tersebut berkata: “Ais anta? Ais anta?” Yang artinya sebenarnya, “Maksudmu apa?”
Tetapi jemaah haji tersebut memahami kata-kata itu sebagai, “Hush … itu Unta!” Konon dari situlah kata unta berasal. Wallahu a’lam bishowab.
Keseharian jemaah haji Indonesia yang tidak lepas dari belanja juga menimbulkan cerita tersendiri. Ada jamaah haji Indonesia yang ingin membeli alat gosok untuk mencuci piring. Dia masuk ke toko orang Arab dan bertanya, “Adakah alat gosok untuk cuci piring?”
Orang Arab tidak paham maksudnya. Akhirnya si ibu tersebut mempraktikkan seolah-olah dia sedang mencuci piring dan menggosok-gosok. Si pedagang mengira bahwa yang dicari adalah obat sakit pinggang atau minyak gosok. Si ibu tentu saja menolak dan akhirnya dia minta izin untuk mencarinya sendiri.
Setelah sekian lama mencari di toko itu, barang tersebut tidak ditemukan. Sambil menggerutu ibu tadi bilang kepada temannya kalau di Arab itu piringnya mungkin tidak pernah dicuci.
Sebenarnya, pemerintah Indonesia memang tidak menyediakan piring untuk makan. Jadi memang jemaah haji sendiri yang membawa piring dan peralatan makan dari Indonesia.
Toko-toko di Arab sebagian besar tidak paham tentang bahasa Indonesia. Berbeda dengan para pedagang asongan ataupun pedagang kaki lima yang tidak permanen. Banyak di antara mereka memahami bahasa Indonesia, walaupun sedikit-sedikit. Sekedar bahasa untuk transaksi jual beli.
Sedangkan bagi para mukimin Indonesia yang berjualan dagangan otomatis mengerti dan pintar berbahasa Indonesia. Sayangnya para mukimin tersebut jarang sekali yang punya toko permanen.
Mukimin memanfaatkan momentum musim haji ini untuk mencari pendapatan sampingan. Ada yang mendaftarkan diri jadi tenaga musiman PPIH Arab Saudi baik sebagai sopir, tenaga konsumsi, bahkan tenaga keamanan. Tetapi kebanyakan para mukimin tersebut memilih untuk berjualan secara asongan atau kaki lima.
Selain menggunakan bahasa isyarat ketika belanja, jamaah haji Indonesia juga sering bertanya kepada polisi Arab Saudi menggunakan bahasa isyarat.
Penulis sempat melihat beberapa jemaah haji Indonesia yang mendekati polisi Arab Saudi dan bertanya tentang di mana letak lantai dasar untuk tawaf. Jamaah haji tersebut hanya berkata, “Di mana tawaf?” sambil tangannya bergerak-gerak berputar-putar seperti obat nyamuk. Si polisi kemudian mengarahkan jamaah haji untuk memasuki salah satu gerbang masjid menuju ke tempat tawaf.
Sebenarnya, pemerintah Indonesia melalui ketua kloter sudah menyarankan jemaah haji untuk mencari petugas yang memakai seragam petugas merah putih dan rompi hitam jika mengalami kesulitan. Namun banyak dari mereka yang lebih suka menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi secara langsung. (Lingkar Network | Ahmad Fahimi – Lingkar.news)