JAKARTA, Lingkar.news – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia akan memanggil pemegang izin tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pemanggilan pemilik tambang itu menyusul isu kerusakan lingkungan dampak penambangan.
“Saya akan evaluasi, akan ada rapat dengan dirjen saya. Saya akan panggil pemiliknya, mau BUMN atau swasta,” ucap Bahlil ketika ditemui setelah menghadiri Human Capital Summit di Jakarta, Selasa, 3 Juni 2025.
Bahlil melihat ada kearifan-kearifan lokal yang belum disentuh dengan baik dalam pelaksanaan aktivitas pertambangan.
Di sisi lain, Bahlil mengungkapkan terdapat aspirasi masyarakat Papua yang menginginkan pembangunan smelter di sana.
Menurut Bahlil, kompleksitas pertambangan di Papua membutuhkan perlakuan khusus karena merupakan daerah otonomi.
“Kami harus menghargai, karena Papua itu kan ada otonomi khusus, jadi perlakuannya juga khusus. Nanti saya pulang akan evaluasi,” tutur Menteri yang berasal dari Tanah Cenderawasih itu.
Kerusakan Alam Raja Ampat Akibat Penambangan Nikel akan Diinvestigasi
Pada 28 Mei 2025, Komisi VII DPR RI juga meminta pemerintah mengevaluasi terkait izin penambangan nikel di Raja Ampat lantaran tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga merusak potensi wisata.
Anggota Komisi VII DPR RI Evita Nursanty mengatakan pihaknya telah mendengar aspirasi masyarakat, termasuk isu pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat.
Dia mengakui bahwa Raja Ampat kaya akan potensi alam yang sangat luar biasa, mulai dari laut, hutan, sungai hingga pantai yang perlu dijaga dan tidak tercemar oleh aktivitas tambang yang ada di wilayah itu.
“Ini menjadi catatan penting bagi kami untuk nantinya dibicarakan di DPR RI,” ujarnya saat reses di Sorong, Rabu, 28 Mei 2025.
Pihaknya juga akan meminta pemerintah pusat untuk mengevaluasi terhadap izin aktivitas tambang nikel yang ada di Raja Ampat.
“Apakah ini akan diteruskan kalau kehadirannya hanya mengancam ekosistem alam di Raja Ampat,” katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya Julian Kelly Kambu di Sorong, Senin, 19 Mei 2025, menyampaikan ada dua perusahaan yang mengelola tambang nikel di Raja Ampat, yakni PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining.
Kedua perusahaan ini bergerak di tambang nikel yang telah mengantongi izin berusaha sejak daerah ini masih menjadi satu dengan Provinsi Papua Barat.
Selain dua tambang nikel yang berizin, menurut dia, ada beberapa perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) sebelum Papua Barat Daya itu ada.
Hanya 2 Perusahaan yang Punya Izin Tambang Nikel di Raja Ampat
Tambang Nikel Rusak Alam Raja Ampat
Sebelumnya, Bupati Raja Ampat Orideko Burdam, di Sorong, Sabtu, 31 Mei 2025 mengeluhkan kewenangan pemberian dan pemberhentian izin tambang nikel dari Jakarta, sehingga pemerintah daerah kesulitan memberikan intervensi terhadap tambang yang diduga merusak dan mencemari hutan dan ekosistem yang ada.
“97 persen Raja Ampat adalah daerah konservasi, sehingga ketika terjadi persoalan pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang, kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena kewenangan kami terbatas,” ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat berharap bahwa dengan meninjau kembali pembatasan kewenangan pengelolaan hutan, pemerintah pusat dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk lebih terlibat dalam pengelolaan hutan dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Di sisi lain, kritik dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel di Raja Ampat juga disampaikan aktivis Greenpeace Indonesia di acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta, Selasa, 3 Juni 2025.
Aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat pemuda Papua dari Raja Ampat menerbangkan banner bertulis “What’s the True Cost of Your Nickel?”, kemudian membentangkan spanduk dengan pesan “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining” dalam forum tersebut.
Aksi melalui pesan tersebut ditujukan kepada pemerintah dan pengusaha industri nikel bahwa penambangan dan upaya hilirisasi nikel berdampak bagi masyarakat dan lingkungan.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengatakan industri nikel juga merusak lingkungan dengan membabat hutan, mencemari sumber air, sungai, laut, hingga udara, dan jelas akan memperparah dampak krisis iklim.
“Industrialisasi nikel–yang makin masif seiring tren naiknya permintaan mobil listrik–telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah, mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi. Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi,” tuturnya mengutip laman Greenpeace pada Rabu, 4 Juni 2025.
Greenpeace menyebut telah menemukan aktivitas pertambangan di tiga pulau Raja Ampat, yakni Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ketiga pulau itu termasuk kategori pulau-pulau kecil yang sebenarnya tak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
Jurnalis: Antara
Editor: Ulfa Puspa