Pengamat Beberkan Sederet Masalah bila Ojol jadi Karyawan Tetap

Pengamat Beberkan Sederet Masalah bila Ojol jadi Karyawan Tetap

Seorang pengemudi ojek online melintas di Jalan Blora, Jakarta, Jumat (30/8/2024). Badan Pusat Statistik mencatat jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia pada 2024 sebanyak 47,85 juta jiwa atau turun dari tahun 2023 yakni sebanyak 48,27 juta jiwa yang setara 17,13 persen dari total penduduk Indonesia. ANTARA FOTO/Fauzan/nym. (ANTARA FOTO/FAUZAN)

Jakarta, Lingkar.news – Status pengemudi ojek online (ojol) yang diwacanakan untuk menjadi pekerja formal dikhawatirkan berdampak pada konsep pekerja gig atau orang yang bekerja dengan jangka waktu tertentu atau berdasarkan proyek (on demand).

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (19/9), Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan bahwa bila ojol diformalkan dan memiliki upah tetap, maka aplikator atau perusahaan berhak memberikan target-target tertentu kepada pekerjanya.

Adapun, target-target tersebut seperti jumlah penumpang, durasi jam kerja, jam masuk maupun jam pulang sehingga ketika sudah menjadi formal, pengemudi wajib mengikuti aturan main perusahaan.

“Ketika statusnya pekerja, maka bentuk kontraknya bukan sebagai pekerja gig lagi. Mereka akan kehilangan fleksibilitas pekerjaan dan sebagainya,” kata Nailul.

Menurutnya, di tengah situasi ekonomi saat ini yang sedang lesu, penurunan jumlah kelas menengah dan ditambah dengan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah perusahaan membuat pilihan pekerjaan semakin terbatas.

Dalam situasi seperti itu, menekuni pekerjaan gig atau ojol menjadi salah satu opsi terbaik dalam memperoleh pendapatan.

Seperti pada saat pandemi COVID-19, di mana banyak karyawan yang dirumahkan dan memilih menjadi pengemudi ojol.

“Saat pandemi, banyak perusahaan melakukan PHK. Sementara para mitra pengemudi masih mampu memiliki pendapatan terutama pada jasa layanan antar makanan,” sebut Nailul.

Hal senada juga diungkapkan Pakar Hukum Ketenagakerjaan dari Universitas Brawijaya Budi Santoso. Menurut Budi, jika status pengemudi ojol diformalkan, maka para pengemudi ojol harus siap dengan berbagai konsekuensinya.

Tidak hanya soal fleksibilitas waktu kerja, konsekuensi PHK juga bisa terjadi jika target tidak tercapai.

Begitupun, ketika bisnis perusahaan sedang tidak baik sehingga potensi pengurangan tenaga kerja dapat terjadi.

“Sudah ada platform yang menerapkan konsep menjadi pekerja formal seperti itu, di perusahaan kurir atau pengantaran barang dan belum lama ini mereka melakukan efisiensi dan mengurangi jumlah SDM karena bisnisnya sedang turun,” ucap Budi.

Sementara jika status ojol diformalkan, seseorang yang mengalami PHK dan ingin menjadi pengemudi ojol untuk sementara waktu, tentu tidak akan mudah seperti sebelumnya.

Sebab, aplikator sebagai perusahaan pemberi kerja pasti akan menyaring dengan meningkatkan persyaratan dalam merekrut pekerjanya. Misalnya, dari sisi usia pekerja maksimal 30 tahun.

“Sehingga besar kemungkinan akan banyak ojol yang tidak masuk kriteria oleh aplikator. Sementara dengan usia tersebut, mereka juga akan kesulitan mencari pekerjaan di sektor atau perusahaan lain,” kata Budi.

Oleh karena itu, menurutnya, skema kemitraan seperti yang ada saat ini sudah lebih baik ketimbang menuntut status yang lebih terikat. Apalagi, ojol sebagai pekerja gig seharusnya memiliki waktu yang fleksibel dalam mengatur jam kerja. (rara-lingkar.news)

Exit mobile version