Sawah di Jepang, Korea dan India Makin Luas, Bagaimana Dengan Indonesia?

Sawah di Jepang, Korea dan India Makin Luas, Bagaimana Dengan Indonesia?

Seorang petani mengumpulkan bibit padi pada lahan sawah yang terkena banjir di Cawas, Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (20/1/2024). Banjir tersebut mengganggu jadwal tanam padi pertama 2024. ANTARA

Jakarta, Lingkar.news – Di Hokkaido, Jepang, indeks luas sawah petani tercatat semakin besar dari tahun ke tahun, begitu juga di Korea Selatan. Hal itu terjadi karena kebijakan pada industri agro ruas hilir berjalan sebagaimana mestinya.

Tujuannya tidak lain agar petani pangan bisa sejahtera, lalu tetap betah bertani memproduksi pangan untuk bangsanya. Mereka menyadari dengan sangat bahwa syarat mutlak agar petani sejahtera, maka harus punya lahan yang luas.

Dua negara itu bisa menjadi teladan yang baik bagi Indonesia agar indeks kepemilikan sawah tidak terus menurun seiring alih fungsi lahan karena laju pertumbuhan penduduk.

Tercatat indeks kepemilikan sawah di Indonesia ada kecenderungan menurun signifikan dari yang semula 3 ha/KK, sekarang tinggal 0,25 ha/KK. Itu pun jumlahnya semakin banyak.

Sensus Pertanian 2013 mencatat ada 14,3 juta KK, tahun 2023 ada 16,68 juta KK. Hal itu, salah satunya terjadi karena proses industri manufaktur belum berjalan dengan optimal. Sementara alih fungsi lahan terus berjalan.

Padahal pada prinsipnya secanggih apapun teknologinya jika luas sawah hanya 0,3 ha, maka akan sulit untuk mengalahkan produktivitas dari luas 30 ha/KK, apalagi jika sama-sama menanam padi, jagung dan kedelai, maupun palawija.

Penting dicatat, jika hanya 0,25 ha/KK untuk menanam padi, jagung, dan kedelai, maka mustahil laba yang didapat bisa di atas Rp1,5 juta/bulan/KK. Ini ekonometrikanya.

Artinya sangat sulit untuk membuktikan kalau ada yang menjanjikan petani akan makmur sejahtera dengan lahan 0,25 ha/KK, meskipun ada kepastian pasar atau off taker sejenis contract farming atau mekanisasi.

Karena lazimnya dan praktiknya di lapangan lahan seluas 0,25 ha hanya akan menghasilkan padi 1,5 ton GKP setara Rp75 juta, jagung 1,5 ton setara Rp10 juta, dan 0,4 ton kedelai setara Rp36 juta. Total omzet Rp20 juta dengan laba sekitar Rp 7 juta/tahun.

Maka kemudian solusinya harus ada upaya penambahan luas sawah di Indonesia yang saat ini hanya 7,1 juta hektare (sebagaimana data BPS).

Di India saja, saat ini luasan sawahnya mencapai 56,7 juta hektare, itulah sebab India bisa mengekspor beras secara rutin. Rasionya 500 meter sawah per kapita penduduk, berarti Indonesia idealnya 14 juta hektare, masih kekurangan setidaknya 7 juta hektare lagi.

Ini agar petani di Indonesia bisa menanam kedelai 1,5 juta hektare, jagung 0,9 juta hektare, tebu 0,8 juta hektare, sehingga impor bisa ditekan, bahkan dihentikan.

Diperlukan Inovasi agro

Contoh konkret implikasi industri inovasi agro ditunjukkan pada 2012, di Malaysia ketika itu banyak perusahaan refinery CPO bangkrut massal.

Tangki CPO raksasa banyak yang mangkrak. Karena sebelum tahun 2012 Malaysia impor CPO dari Indonesia jutaan ton per tahun.

Kebangkrutan massal di Malaysia diperkirakan merupakan akibat langsung dari industri hilir agro inovasi tahun 2012 di Indonesia yang menjamur di mana-mana. Ketika itu Indonesia hampir menghentikan total ekspor CPO ke Malaysia.

Implikasinya, Malaysia mengalami kemunduran ekonomi, ditunjukkan dengan terjadinya PHK besar-besaran, utamanya menimpa para TKI yang bekerja di negara itu. Kondisi diperburuk dengan penerimaan pajak yang berkurang drastis.

Sebaliknya di Indonesia ada nilai tambah besar-besaran terjadi, APBN naik tajam dari pajak industri refinery, perekrutan tenaga kerja di atas 1,3 juta orang yang semula pengangguran.

Tidak terbayang jika 1,3 juta orang tersebut menjadi petani semua dengan cara berebutan sawah yang ada. Pasti akan makin sempit indeks sawah petani.

Ilmu hikmahnya, industri agro hilir inovatif bisa berjalan, karena ada yang mau berinvestasi. Ada pengusaha pemilik modal yang tertarik investasi pada refinery.

Mereka tertarik karena mendapat kemudahan khusus jaminan percepatan izin tuntas, ada dukungan jalan dan PLN, ada insentif tanpa pajak pada tahun pertama dan pungutan ekspor oleokimia diminimalkan, dibanding ekspor CPO minyak mentah.

Implikasi lainnya, banyak pengangguran terserap pada produk turunan berikutnya. Warga yang dulunya numpang hidup kepada yang tidak menganggur, berubah menjadi mandiri karena punya pendapatan dari gajinya.

Dari miskin menjadi sejahtera di negeri sendiri, tidak perlu menjadi TKI di Malaysia kalau hanya sama-sama bekerja di industri refinery. Perdesaan tidak menjadi lumbung kemiskinan hingga 51 persen dari total kemiskinan.

Tentu masih sangat banyak contoh industri hilir agro inovatif di Indonesia, walaupun masih sangat jauh dari harapan.

Misal untuk komoditas porang, serapan tenaga kerja anak petani juga bisa dalam jumlah besar untuk bekerja di industrinya.

Gandum juga sama dalam pengolahan menjadi mi instan yang sebagian diekspor lagi, walaupun bahan bakunya impor.

Ekstrak buah segar juga menyerap banyak anak-anak petani untuk bisa bekerja di industri. Total jumlahnya bisa jutaan orang.

Mencetak lahan sawah baru adalah sebuah keniscayan

Bangsa ini tidak boleh mengingkari ajaran ilmu pengetahuan. Bahwa indeks kepemilikan lahan pangan kalau mau mandiri harus 500 meter/kapita, atau idealnya 14 juta hektare, sehingga tercatat masih perlu ada penambahan, setidaknya 7 juta hektare lagi.

Pemerintah harus menginisiasi upaya mencetak sawah atau mewujudkan food estate. Semua harus menyadari berdasarkan data empirik (ekonometrika) lahan seluas 0,25 ha/KK mustahil bisa menyejahterakan petani jika menanam padi, jagung, dan kedelai.

Sangat wajar Kemenko PMK melaporkan 49,8 persen dari total petani miskin menjadi rentan miskin. Wajar juga kalau akhirnya Indonesia kehilangan petani selama 10 tahun ini, lebih dari 3 juta KK (Sensus Pertanian 2023).

Wajar orang tua petani yang mau mewariskan profesi petani hanya 27 persen karena tidak mau melihat anak cucunya miskin, sebagaimana riset Prof. Farida dari IPB. Wajar pula kalau jadinya produksi pangan kurang, lalu mengimpor hingga Rp330 triliun/tahun.

Solusinya, Indonesia harus mencetak sawah atau mewujudkan food estate untuk petani agar goal rasional perluasan lahan pangan dari saat ini yang hanya 7,1 juta hektare menjadi 14 juta hektare dan indeks sawah petani bisa minimal 3 hektare/KK.

Caranya dengan melibatkan pengembang cetak sawah berpengalaman di lapangan, cara ini cenderung lebih hemat dari sisi APBN.

Bukan mereka yang hanya bersumber dari literatur dan teori saja, tapi tanpa pernah praktik. Lalu pengembang mengkreditkan bunga lunak ke petani yang diangsur dari hasil panennya, seperti plasma sawit atau KPR rumah.

Kemudian, harus ada upaya yang serius dalam memperbaiki iklim usaha industri agro inovatif di ruas hilir.

Tentu agar mampu menyerap hasil produksi tani, sehingga mendapat kepastian pasar. Selain itu juga agar bisa menyerap anak petani untuk produktif dari sisi pendapatan tanpa harus berbagi warisan sawah yang makin sempit.

Pada akhirnya ada serapan hasil penelitian yang selama ini belum diimplementasikan, sehingga riset semakin membumi dan bermanfaat bagi masyarakat. (Rara – Lingkar.news)

*) Wayan Supadno adalah praktisi pertanian

Exit mobile version