Lingkar.news – Baru-baru ini diberitakan bahwa kawanan gajah liar masuk ke pemukiman dan rusak kebun warga di Desa Gondai Kecamatan Langgam dan Desa Betung serta Talau Kecamatan Pangkalan Kuras, Riau.
Kawanan gajah masuk ke pemukiman tersebut diperkirakan sudah hampir 1 bulan yang makin hari menambah kerugian sangat besar, karena hewan bertubuh besar itu memakan dan merusak tanaman warga.
Kabid Wilayah I BBKSDA Riau, Hansen Siregar berharap masyarakat setempat bisa menahan diri, bersabar jangan sampai ada tindakan mau meracun atau membunuh gajah tersebut.
Sebenarnya, konflik gajah dan manusia bukanlah baru pertama kali terjadi. Kepala Peneliti Yayasan Leuser International (YLI), Renaldi Safriansyah dalam webinar “Akar Permasalahan Konflik Manusia-Gajah di Aceh dan Solusi-Solusi Berbasis Alam”, pada 2022 memaparkan hasil riset konflik manusia dengan gajah sumatera di Aceh sejak 2015 hingga 2020.
Selama 2015-2020, jumlah konflik manusia dengan gajah mencapai 456 kasus. Daerah paling banyak konflik adalah Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Utara.
Periode ini tercatat 46 individu gajah terbunuh, terbanyak di Aceh Timur. Konflik dengan manusia penyebab utama kematian gajah (57 %), perburuan (10 %), dan kematian alami (33%).
Sebelum mengetahui langkah-langkah mengatasi konflik gajah dan manusia. Mari kita ketahui dulu fakta-fakta seputar gajah.
Mengenal Gajah
Gajah adalah satwa yang sangat spesial. Dilansir dari laman resmi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), gajah mengandung anaknya selama 600 hari atau 20 bulan.
Gajah hanya melahirkan satu ekor anak gajah saja. Si betina melahirkan pada usia 15 atau 16 tahun, sedangkan umurnya hanya mencapai 60 atau 70 tahun.
Biasanya pemburu mengincar gading Gajah yang hanya dimiliki gajah jantan. Ukuran panjang gading gajah jantan dewasa bisa mencapai 50 – 170 cm.
Oleh karena itu, jika gajah tidak dijaga dari perburuan atau kejahatan satwa, maka gajah akan punah.
Peran gajah bagi manusia dan makhluk lainnya
Dalam buku Legacy: Hidup Berguna Mati Mulia karya Felix Adamson, gajah secara ekologi bermanfaat untuk hewan lain. Saat mereka memakan ujung atau pucuk tumbuhan, maka ranting pepohonan akan patah.
Dengan itu, mereka mengubah hutan menjadi sabana, lalu mengubah sabana menjadi padang rumput. Sehingga, keberadaan mereka penting bagi keseimbangan hutan.
Selain itu, gajah membuat jalur setapak yang bisa digunakan hewan lain atau bahkan manusia. Sebagian dari jalan yang mereka buka juga dapat menjadi jalan permanen.
Penanggulangan Konflik Gajah dan Manusia
Peneliti kehutanan Yayasan Auriga Nusantara, Riszki Is Hardianto menguraikan, menurut The International Union for the Conservation of Nature (IUCN) gajah sumatera masuk ke dalam status “Critically Endangered”.
Kondisi populasi gajah sumatera pada 2007 teridentifikasi sebanyak 2800-4800 individu, dan data terakhir pada 2021 populasi gajah sumatera tersisa sebanyak 924-1359 Individu.
Ia juga mengemukakan bahwa, ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam upaya penanggulangan konflik gajah dan manusia, salah satunya seperti berfokus pada habitat gajah tersisa.
Dalam hal ini perlu dipastikan bahwa, habitat gajah tersisa dalam kondisi aman dari kegiatan-kegiatan yang bisa mengganggu habitat dari gajah.
Dalam hal ini diperlukan komitmen multi-stakeholder dalam pengelolaan habitat, sehingga semua habitat gajah tersisa terhindar dari segala bentuk gangguan/perambahan.
Selain itu dalam pemberian izin penggunaan kawasan, baik dalam pembangunan infrastruktur dan pemberian izin pelepasan konsesi, harus memperhatikan habitat gajah yang ada di setiap kawasan.
Hal itu diharapkan dapat meminimalisasi terjadinya konflik gajah dan manusia dan meningkatkan peluang pelestarian dari gajah sumatera.
Selain itu, penyebab konflik bisa jadi juga dikarenakan terjadinya penyempitan dan terfragmentasinya habitat gajah yang ada, dan hal tersebut menyebabkan gajah menjadi terganggu dan mencari habitat lainnya yang masih bagus.
Terhadap habitat gajah yang terfragmentasi diperlukan pembentukan koridor antarsatu habitat yang terfragmentasi dengan habitat lainnya.
Dari segi kemasyarakatan, juga diperlukannya pembangunan kesadaran bersama terhadap gajah sumatera yang ada untuk dilindungi bersama sehingga upaya pembunuhan atau perburunan terhadap gajah sumatera dapat diminimalisir.
Selain itu harus ada kesepemahaman dalam wilayah habitat gajah, agar tidak melakukan pemanfaatan lain di dalam habitat gajah, seperti pemukiman, pertanian, perkebunan maupun usaha lainnya di dalam habitat gajah tersebut.
Bila daya dukung habitat gajah tersisa ditingkatkan, sehingga dapat mencukupi kebutuhan pakan gajah, dan pemahaman masyarakat akan pentingnya gajah di alam juga ditingkatkan, maka konflik gajah dan manusia dapat terselesaikan, atau setidaknya dapat terhindarkan.
Itulah cara menanggulangi konflik gajah dan manusia menurut peneliti kehutanan. (Lingkar Network | Shinta – Lingkar.news)