Jakarta – Konsep “Food Estate” atau lumbung pangan menjadi topik hangat dalam diskusi publik, khususnya terkait upaya Indonesia dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Proyek ini dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai dari aspek teknis hingga sosial-ekologis, yang mendesak evaluasi mendalam.
Daftar Isi :
Visi Pemerintah dan Implementasi “Food Estate”
Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, menganggap “Food Estate” sebagai solusi jangka panjang untuk masalah ketahanan pangan. Program ini diharapkan dapat menggantikan solusi jangka pendek, seperti impor beras, dengan mengembangkan produksi pangan terintegrasi meliputi pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Namun, realisasi “Food Estate” bukan tanpa hambatan. Proyek ini memerlukan waktu yang lama, riset mendalam, dan penerapan teknologi yang tepat. Selain itu, program ini juga menghadapi tantangan dalam hal sosial budaya, alih fungsi lahan pertanian, dan dampak lingkungan.
Pentingnya Food Estate dalam Konteks Krisis Global
Dalam konteks global, urgensi “Food Estate” meningkat seiring dengan krisis pangan yang diperburuk oleh perubahan iklim dan pandemi COVID-19. Dengan pertambahan jumlah penduduk dan kondisi geopolitik yang tidak menentu, Indonesia memandang perlu untuk memiliki cadangan pangan yang lebih besar dan ketahanan pangan yang lebih kuat.
Sejarah dan Pelajaran dari Implementasi Sebelumnya
“Food Estate” bukanlah konsep baru di Indonesia. Sejak era Presiden Soeharto, telah ada upaya untuk menerapkan konsep lumbung pangan, seperti Proyek Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah. Namun, proyek ini mengalami kegagalan karena kurangnya kajian sosio-ekologis dan ketidaksesuaian dengan kondisi sosial budaya lokal.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya serupa dilakukan melalui program “Merauke Integrated Energy Estate” (MIFEE) di Papua. Proyek ini juga menemui hambatan, terutama terkait dampak lingkungan dan sosial budaya.
Pada era Presiden Jokowi, “Food Estate” kembali diterapkan di beberapa wilayah, termasuk Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua. Meski bertujuan baik, proyek ini masih memerlukan penyempurnaan dalam hal teknologi, riset, dan implementasi.
Dampak dan Kritik Terhadap “Food Estate”
“Food Estate” juga menghadapi kritik, terutama terkait potensi konflik agraria, kerusakan lingkungan, dan dampak sosial. Program ini dikhawatirkan dapat memperburuk kondisi petani lokal dan memicu masalah pangan baru.
Kesimpulan dan Langkah ke Depan
“Food Estate” merupakan proyek ambisius dengan tujuan mulia dalam mewujudkan ketahanan pangan. Namun, tantangan yang ada memerlukan evaluasi dan penyempurnaan yang mendalam. Solusi efektif dan formulasi yang tepat dalam implementasi menjadi kunci agar proyek ini dapat berhasil dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat Indonesia. (Rara – Lingkar.news)