Lingkar.news – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang mematangkan rencana penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP) untuk mengurangi kemacetan di Ibu Kota.
Upaya itu ditempuh setelah cara lain, di antaranya, three in one (3in1) dan ganjil genap dinilai belum mampu mengendalikan lalu lintas yang padat dan macet di sejumlah ruas jalan di Jakarta.
Menurut Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo, kebijakan tersebut bukan mengurangi kemacetan, melainkan malah menambah jumlah kendaraan bermotor di Ibu Kota.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, jumlah sepeda motor pada tahun 2020 mencapai 16,1 juta atau naik dibandingkan tahun sebelumnya mencapai 15,8 juta.
Adapun kebijakan ganjil genap yang tidak berlaku untuk sepeda motor, justru malah mengalihkan pengguna mobil ke moda sepeda motor.
Apa itu ERP?
Sejatinya, ERP bukanlah cara baru dalam mengendalikan kemacetan lalu lintas. Sistem itu sudah diterapkan oleh pemerintah kota atau otoritas bidang transportasi di negara-negara maju untuk menekan kemacetan.
Sebut saja London, Stockholm, Milan, hingga negara tetangga, Singapura yang menerapkan kebijakan itu sejak tahun1998.
Berdasarkan data Otoritas Transportasi Darat (LTA) Singapura, dalam sistem ERP, pengendara akan dikenakan biaya ketika melewati gerbang pada saat jam operasional.
Biaya yang dikenakan pun tergantung jenis kendaraan. Makin besar kendaraan maka tarif yang dikenakan juga besar.
Pengendara harus menginstalasi perangkat yang menempel di kendaraan yakni the In-vehicle Unit (IU) untuk dapat melintasi jalan tertentu yang terpasang gerbang ERP.
Pemasangan IU di negara tetangga itu juga tidak gratis, namun dikenakan biaya tertentu dengan garansi selama periode tertentu, misalnya, selama 5 tahun.
Perangkat IU itu mengandung nomor kode bar yang dipindai ketika melintasi gerbang ERP. Nantinya, tarif dapat langsung didebit dari saldo yang tersimpan pada kartu sejenis uang elektronik yang ada di IU tersebut.
Selain pembayaran langsung melalui IU itu, pengendara juga memiliki pilihan lain membayar tarif melalui kartu debit atau kartu kartu kredit.
Penyusunan regulasi
Rencana penerapan ERP di Jakarta sudah melalui pembahasan panjang, yang dimulai sejak 2007 setelah terbit Peraturan Gubernur DKI Nomor 103 Tahun 2007 tentang Pola Transportasi Makro.
ERP sudah menjadi amanat sesuai yang tercantum dalam Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi. Untuk mengingatkan kembali, pengendalian lalu lintas secara elektronik itu sempat melalui uji coba pada tahun 2016.
ERP kemudian terhenti karena digugat salah satu perusahaan bidang telekomunikasi pada 2019 hingga Pemprov DKI menang dalam kasasi di Mahmakah Agung (MA) pada Februari 2021.
Pemprov DKI kemudian menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PL2SE) dan kini sudah masuk pembahasan di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta.
Adapun salah satu yang menjadi pembahasan di antaranya soal tarif yang diusulkan berkisar Rp 5 ribu hingga Rp 19 ribu.
Pengenaan tarif itu rencananya dikenakan kepada sejumlah jenis kendaraan termasuk sepeda motor, kecuali sepeda listrik, kendaraan bermotor pelat kuning, serta kendaraan dinas operasional instansi pemerintah dan TNI/Polri selain berpelat hitam.
Kemudian, kendaraan korps diplomatik negara asing, kendaraan ambulans, kendaraan jenazah, dan kendaraan pemadam kebakaran.
ERP di Jakarta rencananya berlaku setiap hari mulai pukul 05.00 hingga 22.00 WIB di 25 ruas jalan Ibu Kota sepanjang 54 kilometer.
Adapun 25 ruas jalan itu yakni di Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Majapahit.
Kemudian, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Panglima Polim, Jalan Fatmawati mulai dari simpang Jalan Ketimun 1 sampai simpang Jalan TB Simatupang.
Selanjutnya di Jalan Suryopranoto, Jalan Balikpapan, Jalan Kyai Caringin, Jalan Tomang Raya, Jalan S. Parman mulai simpang Jalan Tomang Raya sampai Jalan Gatot Subroto.
Selain itu, Jalan Gatot Subroto, Jalan MT Haryono, Jalan Rasuna Said, Jalan DI Panjaitan, Jalan Jenderal Ahmad Yani mulai simpang Jalan Bekasi Timur Raya sampai simpang Jalan Perintis Kemerdekaan.
Terakhir di Jalan Pramuka, Jalan Salemba Raya, Jalan Kramat Raya, Jalan Stasiun Senen, dan Jalan Gunung Sahari.
Kesiapan angkutan umum
Apabila ERP diberlakukan, diharapkan masyarakat mau beralih menggunakan angkutan umum khususnya di ruas jalan yang menerapkan ERP.
Berdasarkan data Dinas Perhubungan DKI, kapasitas angkutan publik terus ditingkatkan, misalnya, TransJakarta saat ini mencapai sekitar 1,2 juta penumpang per hari dengan kekuatan armada 4.700 unit.
Pihaknya memproyeksikan kapasitas TransJakarta akan ditingkatkan pada tahun 2024 mencapai 1,5 juta penumpang dengan armada 6.960 unit melalui penambahan koridor dari 13 menjadi 15 koridor BRT (dengan halte).
Kemudian, MRT Jakarta saat ini kapasitasnya mencapai 173 ribu penumpang per hari dan ditingkatkan pada 2024 menjadi 260 ribu pada 2024 yang juga akan didukung penyelesaian MRT Fase 2A.
Selanjutnya, kapasitas LRT Jakarta saat ini mencapai 18 ribu penumpang per hari yang diintegrasikan dengan TransJakarta sehingga ditargetkan kapasitas naik menjadi 145 ribu penumpang per hari.
Selain itu, ada LRT Jabodebek dengan kapasitas penumpang mencapai 730 ribu per hari yang melalui 18 stasiun.
Sementara itu, akademisi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno mengakui kebijakan itu akan mengundang pro dan kontra karena kebijakan yang tidak populer.
Bagi yang kontra, cara itu tetap tidak bisa mengalahkan nyamannya menggunakan mobil karena lebih fleksibel, pribadi, gengsi, hingga status sosial.
Dengan ERP, masyarakat dipaksa bertindak rasional dengan memilih moda angkutan umum. Bagi yang pro, ERP merupakan bentuk kepedulian terhadap lingkungan. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)